Jumat, 30 Maret 2012

Anak Asuh dan Anak Angkat


Anak Asuh dan Anak Angkat


Anak dalam keluarga adalah buah hati belahan jiwa. Untuk anak orangtua bekerja memeras keringat membanting tulang. Anak merupakan harapan utama bagi sebuah mahligai perkawinan. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga, keturunan dan bangsa setelah agama. Namun, anak adalah karunia Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala.
Tidak semua mahligai perkawian dianugrahi keturunan, generasi penerus, hingga suami-istri tutup usia. Usia perkawinan yang masih relatif muda yang belum dikaruniai anak belum tentu tak akan mendapatkan keturunan. Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala mengaruniai anak kepada Nabi Ibrahim yaitu Ismà’il dan Ishàq pada usia senja, yang pertama di usia 99 tahun, yang terakhir 112 tahun. Itu terjadi tatkala usia senja dan harapan untuk mendapatkan keturunan sampai pada titik putus. (Muhammad Asy Syaukàni, Fathul Qad?r, 3/140). Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman melalui lisan Nabi Ibrahim, yang artinya: “Segala puji bagi Alloh yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do’a”(QS: ‘Ibràhim: 39)
TabanniyTabanniy (adopsi) adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Di jaman Jahiliyah seorang mengangkat seseorang anak lelaki sebagai anaknya dengan mendapatkan hak seperti anak kandungnya. Dipanggil dengan memakai nama ayah angkatnya dan mendapatkan warisan. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengangkat Zaid bin Hàritsah bin Syaràh?l sebagai anaknya sebelum risalah kenabian. Para Sahabat memanggil Zaid dengan panggilan Zaid bin (anak) Muhammad hingga turun ayat: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”. (HR: Al Bukhàri).
Islam mengharamkan tabanniy (adopsi) yang diaku sebagai anak kandung, dan Islam menggugurkan segala hak yang biasa didapatkan anak angkat dari mutabanniy (orang yang mengadopsi anak).
Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dia (Alloh) tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandung-mu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan Alloh mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukan jalan (yang benar).” (QS: Al ‘Ahzàb: 4)
Seseorang diharamkan menasabkan anak angkatnya pada dirinya. Islam menyuruh untuk menasabkannya kepada bapak kandungnya seandainya diketahui. Jika tidak, panggillah mereka ‘akh fid din (saudara seagama) atau maulà (seseorang yang telah dijadikan anak angkat). Seperti Salim anak angkat Hudzaifah, dipanggil maula ‘Abi Hudzaifah. Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisiAlloh, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (berdosa) apa yang disengaka oleh hatimu”. (QS: Al Ahzàb: 5)
Islam juga melarang tawàruts (saling mewarisi) antara anak dan ayah angkat. Ketika Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala me-naskh hukum legalisasi anak angkat maka Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala membolehkan untuk menikahi istri anak angkat atau sebaliknya. Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala telah menikahkan Rasululloh dengan Zainab binti Jahsy Al ‘Asadiyyah bekas istri Zaid bin Hàritsah. Dengan tujuan -wallàhu ‘a`lam- supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (setelah talak dan habis ‘iddahnya). Sebagaimana firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala, yang artinya:“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (mencerai-kannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya.” (QS: Al-Ahzab: 37)
Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat adalah sebuah kedustaan, mencampurbaurkan nasab (silsilah keturunan), merubah hak-hak pewarisan yang menyebabkan memberikan warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan hak waris bagi yang berhak. Menghalalkan yang haram: yaitu ber-khalwat (berkumpulnya mahram dengan yang bukan). Dan mengharamkan yang halal: yaitu menikah. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam seseorang menasabkan keturunan kepada yang bukan sebenarnya, yang artinya: “Barangsiapa yang dengan sengaja mengakui (sebagai ayah) seorang yang bukan ayahnya sedang ia mengetahui, maka Surga haram buatnya” (HR: Al Bukhàri dan Muslim)
IhtidhànIhtidhàn adalah menjadikan seseorang yang bukan anaknya untuk dididik, diasuh dan diperlakukan dengan baik. Ihtidhan berarti membiarkan anak asuh tetap menggunakan nama aslinya, tidak menasabkannya kepada orangtua asuhnya, tidak diwarisi. Semua kebaikan yang diberikan kepada anak asuh hanya sebatas pada pengertian berbuat baik kepada sesama yang memang dianjurkan oleh syari’at Islam. Anak-anak asuh tetap menjadi orang lain. Ia bukan mahram bagi keluarga yang mengasuhnya. Hal itu berarti harus memperlakukan anak asuh sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan Islam sewaktu berinteraksi kepada orang lain yang bukan mahram.
Solusi Jitu
Adalah rahmat Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala yang Dia tulis dan syari’atkan bagi hamba-hambanya, yang Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala sediakan untuk kaum Muslimin, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: “Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan” (HR: Al Bukhàri dan Muslim)
Keluarga yang mengasuh anak orang lain memungkinkan menjadikannya mahram dengan menyusuinya sendiri. Mengenai jumlah bilangan menyusui yang menjadikan anak orang lain mahram para Ulama berbeda pendapat. Imam Màlik meriwayatkan dari ‘Ali, ‘Ibnu Mas’ùd, ‘Ibnu ‘Umar dan ‘Ibnu ‘Abbàs, tidak menentukan jumlah bilangan hanya menyusu saja dengan alasan keumuman ayat 23 dari surat An Nisà’, pendapat ini diikuti oleh Sa’id bin Al Musayyib. ‘Urwah bin Az Zubair dan Az Zuhri. Tidak terhitung mahram kecuali jika disusui kurang dari tiga kali, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Ishàq bin Ràwaha, ‘Abù ‘Ubaid dan ‘Abù Tsaur, diriwayatkan dari ‘A’isyah, Ummul Fadhl, Abdullàh bin Zubair, Sulaiman bin Yasàr dan Sa’id bin Jubair. Hal ini berdasarkan hadits, yang artinya:“Satu hisapan atau dua tidak menjadikannya mahram” (HR: Muslim).
Imam Asy Syàfi’i dan para pengikutnya berpendapat, tidak termasuk mahram jika disusui kurang dari lima susuan berlandaskan pada ayat yang di-naskh artinya: “Sepuluh kali susuan menjadikan mahram” Ayat ini lalu di-naskh dengan lima susuan. Dan hadits perintah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Sahlah binti Suhayl untuk menyusui Sàlim sebanyak lima kali. Persusuan yang menjadikan mahram manakala bayi masih berumur kurang dari dua tahun menurut kesepakatan Jumhurul Ulàmà’. Lihat Tafsirul Qurànil Azhim oleh Al Hàfizh `Imàduddin Ismà`il bin Katsir, 1/303. (Al Hàfizh `Imàduddin Ismà`il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510, dan Abul Walid Muhammad bin Rusyd Al Qurthubiy, Bidàyatul Mujtahid wa Nihàyatul Muqtashid, 2/26-28)
(Sumber Rujukan: Tafsirul Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir)