Jumat, 30 Maret 2012

Pelajaran Dari Siroh Nabi Musa ‘Alaihis Salam


Pelajaran Dari Siroh Nabi Musa ‘Alaihis Salam

Musa ‘Alaihis Salam merupakan Nabi Bani Israil teragung. Syari’at dan kitabnya, Taurat, merupakan rujukan seluruh nabi-nabi dari kalangan Bani Israil dan ulama mereka. Pengikut beliau, juga termasuk yang terbanyak setelah ummat Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam. Beliau lahir saat Fir’aun melakukan penindasan yang sadis terhadap Bani Israil. Bayi laki-laki mereka yang baru lahir dibunuh dan kaum wanita ditindas dengan menjadikannya sebagai pengabdi kaum laki-laki dan sasaran penghinaan.
Ketika lahir, ibunda beliau merasa was-was, khawatir anaknya jatuh ke tangan Fir’aun, sebab hal itu bukan mustahil terjadi, mengingat penguasa yang diktator ini banyak mengirim mata-matanya ke seluruh penjuru negeri, khususnya untuk menyelidiki aktivitas kaum wanita Bani Israil yang hamil dan jenis kelamin bayi-bayi mereka yang lahir. Dan apabila yang ditemukan adalah bayi laki-laki, maka  dibunuh.
Secara kebetulan, rumah keluarga beliau ditakdirkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala terletak di dataran yang menjorok ke Sungai Nil. Alloh Subhanahu wa Ta’alamemberikan ilham kepada ibundanya, agar meletakkan sang anak ke dalam peti, lalu dihanyutkan ke laut, sembari mengikatnya dengan tali agar tidak dibawa oleh arus air yang deras. Tetapi, sebagai kasih sayang Allah terhadap ibundanya,  Alloh Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepadanya, yang artinya “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa ; “Susuilah dia dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguh-nya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul”. (QS: Al-Qashash: 7)
Pada suatu hari, tatkala sang ibu menghayutkan peti yang berisi sang bayi tersayang ke laut, tiba-tiba tali pengikatnya lepas, sehingga terbawa oleh arus. Rupanya,  Alloh Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan peti tersebut jatuh ke tangan keluarga Fir’aun, kemudian diserahkan kepada isteri Fir’aun, Asiah.
Saat melihat rupa bayi tersebut, dia sangat senang sekali. Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menumbuhkan rasa cinta di hati orang-orang terhadapnya, sehingga berita tentangnya pun tersiar ke seluruh pelosok negeri. Juga, tak ayal berita itu pun sampai ke telinga Fir’aun lalu dia mengirimkan bala tentara untuk menyelidiki dan membunuhnya. Namun, sang istri yang baik hati, memintanya agar tidak membunuh sang anak, sebab dia begitu menyenangkan dan siapa tahu kelak bisa berguna dan benar-benar menjadi anak mereka berdua. Karena bujukan sang istri, sang bayi itu pun  selamat dari pembunuhan.
Saat yang sama istri Fir’aun sendiri cepat tanggap dalam memberikan layanan terhadap sang bayi. Dia mengundang para penyusu bayi dari pelosok negeri dan meminta mereka mencoba untuk menyusui sang anak, tetapi tak satu pun dari mereka yang bisa melakukannya. Karena bingung, mereka membawanya ke luar untuk berjalan-jalan dan berharap  Alloh Subhanahu wa Ta’alamempertemukannya dengan seseorang yang tepat. Dan akhirnya, melalui saudara perempuan Nabi Musa ‘Alaihis Salam sendiri ia menemukan  penyusu yang (juga) tak lain adalah ibu kandung sang bayi.
Terkait dengan kisah Nabi Musa ‘Alaihis Salam, di sini akan dipaparkan lima belas pelajaran penting yang dapat dipetik dari sekian banyak pelajaran penting lainnya. Diantara pelajaran-pelajaran tersebut adalah:
  1. Kasih sayang Alloh Subhanahu wa Ta’ala terhadap ibu nabi Musa ‘Alaihis Salam. Di antara tanda-tanda kasih sayang tersebut: Pertama, AllohSubhanahu wa Ta’ala memberikan ilham kepada ibunda Nabi Musa, sehingga dengan cara itu Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan anak kesayang-annya yang dibawa arus Sungai Nil. Kedua, Alloh Subhanahu wa Ta’alamenyampaikan berita gembira bahwa Dia akan mengem-balikan sang anak ke pangkuan ibundanya lagi. Ketiga, Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan air susu wanita-wanita penyusu lainnya masuk ke mulut anaknya yakni sang bayi, padahal dia sangat membutuhkan air susu tersebut.
  2. Bahwa tanda-tanda yang diberikan oleh Allah dan pelajaran yang dapat diambil dari umat-umat terdahulu hanya bisa diraih oleh orang-orang yang beriman, sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman”. (QS: Al-Qashash: 3)
  3. Bahwa apabila Alloh Subhanahu wa Ta’ala menghendaki sesuatu, AllohSubhanahu wa Ta’ala akan menyediakan sebab-sebabnya dan akan mendatang-kannya secara bertahap, bukan sekaligus.
  4. Umat yang lemah betapa pun kondisi lemahnya, tidak semestinya diliputi oleh kemalasan di dalam merebut kembali hak-haknya, apalagi sampai berputus asa untuk meraih hal yang lebih tinggi, khususnya bila kondisi mereka terzhalimi.
  5. Bahwa selama umat ini terhina dan tertindas, namun tidak bergerak menuntutnya, maka tidak mungkin dapat menjalankan urusan agamanya secara bebas. Demikian pula dengan urusan duniawinya.
  6. Bahwa ketakutan yang bersifat alami terhadap makhluk, tidak menafi-kan keimanan, apalagi menghilangkan-nya. Hal inilah yang terjadi terhadap Ibunda Musa dan Musa sendiri.
  7. Bahwa iman bisa bertambah dan berkurang berdasarkan firman AllohSubhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah)” (QS: Al-Qashash: 10)
    Yang dimaksud dengan iman di dalam ayat ini adalah bertambah ketentramannya.
  8. Di antara nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang paling besar terhadap seorang hamba adalah bersemayamnya kamantapan di dalam dirinya, saat menghadapi hal-hal yang merisaukan dan menakutkan, sebab keimanan dan pahala yang bertambah memungkinkannya untuk mengung-kapkan perkataan yang benar dan tindakan yang tepat, sehingga pandangan dan pikirannya semakin mantap.
  9. Meskipun seorang hamba sudah mengetahui bahwa Qadha’ dan Taqdir AllohSubhanahu wa Ta’ala adalah haq dan janji-Nya pasti akan terjadi, namun dia tidak boleh mengecilkan arti sebuah usaha yang dapat berguna baginya dan bisa menjadi sebab keberhasilannya di dalam mencapai usaha tersebut. Usaha yang dilakukan ibu Nabi Musa adalah mengutus saudara perempuannya, agar mencari dimana keberadaan bayi Nabi Musa.
  10. Kisah Nabi Musa ‘Alaihis Salam mengisyaratkan dibolehkannya wanita keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula, dibolehkan baginya berbicara dengan kaum lelaki bilamana tidak terdapat kendala dan bahaya. Hal ini pernah dilakukan oleh saudara perempuan Nabi Musa dan kedua anak perempuan Nabi Syu’aib ‘Alaihis Salam.
  11. Syari’at umat terdahulu juga berlaku terhadap ummat ini, manakala di dalam syari’at kita tidak ada yang menghapus hukumnya. Indikasinya, tindakan ibunda Musa mengambil upah menyusui anaknya sendiri dari keluarga Fir’aun. Tindakan ini dibolehkan juga dalam syari’at kita karena tidak ada dalil yang menghapus hukumnya.
  12. Bahwa membunuh seorang kafir yang sudah memiliki ikatan dalam suatu perjanjian atau adat, adalah tidak boleh. Ini dapat dipahami dari penyesalan yang ditampakkan oleh Nabi Musa saat secara tidak disadari-nya telah membunuh seorang Qibthiy. Beliau memohon ampun dan bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala atas perbuatannya tersebut.
  13. Manakala khawatir diri akan binasa dengan cara sewenang-wenang (tanpa haq) bila menetap di suatu tempat, maka hendaknya tidak nekad tinggal di sana dan menyerah dengan kondisi tersebut.
  14. Bila harus melakukan suatu pilihan terpahit antara dua hal yang sama-sama dapat menimbulkan kerusakan, maka wajib untuk melakukan hal yang lebih ringan dan aman di antara keduanya sehingga dengan begitu, dapat mencegah timbulnya hal yang paling fatal dan berbahaya dari salah satu yang lainnya. Di dalam hal ini, Nabi Musa ‘Alaihis Salam memilih melarikan diri menuju ke sebagian negeri yang amat jauh dan tidak pernah dilalui sebelumnya. Tentu, pilihan ini lebih menjanjikan dan selamat, meskipun pahit ketimbang tetap tinggal di Mesir.
  15. Dalam kisah Nabi Musa ‘Alaihis Salam terdapat suatu isyarat yang manis, terkait dengan seorang penuntut ilmu syar’i atau katakanlah seorang Mujtahid. Yakni, bahwa bila tidak dapat menentukan mana di antara dua pendapat yang lebih kuat padahal sudah berusaha semaksimal mungkin dan dengan niat yang ikhlas lillahi ta’ala, maka hendaknya meminta petunjuk kepada Rabb agar dibimbing dalam menentukan antara dua pendapat tersebut. Kondisi inilah yang dihadapi oleh Musa ‘Alaihis Salam tatkala sampai di kota Madyan dimana dia tidak dapat menentukan jalur mana yang harus dilaluinya. Beliau berdo’a melalui firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar”.(QS: Al-Qashash: 22)
Demikian diantara pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Nabi Musa ‘Alaihis Salam di dalam surat al-Qashash khususnya, dan di dalam al-Qur’an umumnya.