Senin, 02 April 2012

Pengertian Bid’ah


Pengertian Bid’ah

Pemahaman bid’ah secara tegas diungkapkan oleh beberapa ulama kenamaan, pemahaman mereka tentulah berangkat dari penggalian dalil-dalil Al Qur’an maupun Hadits yang komprehensif.
Imam Syafi’i Rahimahullah dalam ucapan beliau tentang masalah ini terdapat dua riwayat;
Pertama, riwayat Abu Nu’aim:
“bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji. sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela.”
Kedua, riwayat al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i:
“perkara-perkara baru itu ada dua macam; pertama, perkara baru yang menyalahi Al Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma, inilah bid’ah dholalah. kedua, adalah perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertantangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela.”
Al-Hadidi dalam Syarah Nahjul Balagah, beliau berkata;
“lafadz bid’ah dipakai untuk dua pengertian; (1) sesuatu yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah seperti puasa hari raya nahar dan pada hari tasyriq. perbuatan tersebutwalaupun berbentuk puasa tetapi terlarang dilakukan. (2) sesuatu yang tidak ada keterangan nash padanya melainkan didiamkan oleh syara’ lalu dilakukan oleh kaum muslimin sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa, “tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat ada dalam neraka” adalah dimaksudkan untuk bid’ah sesuai pengertiannya yang pertama. sedangkan perkataan Umar RadhiAllahu ‘Anhu “sesungguhnya shalat tarawih berjama’ah adalah bid’ah dan sebaik-baik bid’ah adalah dia” dimaksudkan untuk bid’ah berdasarkan pengertiannya yang kedua”.
Al-Khatabi berkata dalam Ma’aalimus Sunan IV/301;
“sabda Nabi “setiap yang baru itu bid’ah” adalah khusus pada sebagian perkara dan tidak pada sebagian yang lain. bid’ah itu sendiri adalah segala sesuatu yang diada-adakan dengan tanpa sumber dari agama dan juga tanpa timbangan dan qiyas darinya. adapun sebagian perkara baru yang didasarkan kepada kaidah-kaidah ushul dan dapat dikembalikan kepadanya, maka tidaklah dia termasuk bid’ah (secaya syar’i) dan tidaklah pula sesat.”
Ibnu Abdil Barr berkata;
“bid’ah itu menurut ucapan orang-orang arab adalah mengada-adakan dan mengawali sesuatu yang belum ada. maka perkara yang diada-adakan dalam agama yang menyalahi sunnah yang telah diamalkan, maka itulah bid’ah yang tidak ada kebaikan dan wajib mencelanya, mencegah pelaksanaannya, memerintahkan untuk menjauhinya dan mengusir pelakunya apabila telah nyata baginya kejelekan dari jalan yang ditempuhnya. sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi sumber syari’at dan sunnah, maka itulah sebaik-baiknya bid’ah, sebagaimana yang dikatakan Umar RadhiAllahu ‘Anhu karena asal dari yang beliau lakukan itu adalah sunnah.”
Imam Nawawi Rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim Jilid VI/154;
“hadits Nabi ‘setiap bid’ah itu sesat’ adalah hadits yang yang ‘am makhshush (umum tapi dikhususkan). yang dimaksud sesat disitu adalah kebanyakan bid’ah. pera ahli bahasa berkata; bid’ah adalah segala sesuatu yang dikerjakan dengan tanpa ada contoh yang mendahuluinya. para ulama berkata; bid’ah itu ada lima macam, wajib, mandhub, haram, makruh dan mubah. termasuk bid’ah yang wajib adala menyusun dalil-dalil ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan penyimpangan aqidah dan para pelaku bid’ah serta yang seumpamanya. termasuk bid’ah yang mandhub adalah menyusun kitab-kitab ilmu, membangun mandrasah dan tempat-tempat pengajian serta yang selainnya. termasuk bid’ah yang mubah adalah memperbanyak warna-warna, makanan dan yang lainnya. sedangkan bid’ah yang haram dan makruh sudah jelas. masalah ini telah aku jelaskan dengan dalil-dalilnya yang luas dalam kitab ‘tahziibul asma’ was-shifat’. apabila dimengerti apa yang telah aku sebutkan itu niscaya diketahuilah bahwa hadits Nabi itu termasuk hadits yang ‘am makhshush dan begitu juga hadits-hadits yang serupa dengannya. apa yang kami katakan ini diperkuat oleh pernyataan Umar RadhiAllahu ‘Anhu dalam hal slhalat tarawih, ‘dia adalah sebaik-baik bid’ah’. dan keadaan hadits itu sebagai hadits yang ‘am makhshush tidak lah tercegah oleh sabda Nabi ‘kullu bid’atin’ yang diperkuat dengan kata ‘kullu’ melainkan tetap dia itu dimasuki oleh takhshish walaupun bersama ‘kullu’ seperti halnya firman Allah, ‘tudammiru kulla syai’in (angin taufan itu menghancurkan sedala sesuatu)’, padahal ayat ini walaupun ada kullu yang menunjuk makna umum tapi tetap dimasuki oleh takhshish karena yang dihancurkan oleh angin taufan itu memang bukan segala sesuatu. terbukti langit, bumi dan gunung-gunung tidak ikut hancur.”
Pendapat senada juga diungkapkan ulama-ulama berikut;
  1. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari IV/318
  2. Izzudin bin Abdus Salam dalam al-Qowaa’id
  3. Ali al-Qoori’ dalam Syahrul Misykaat
  4. Ibnu Muluk dalam Mabaariqul Azhaar Syarah Masyaariqul Anwar
  5. Jalaluddin as-Suyuti dalam Husnul Maqooshin fii ‘Amalil Maulid dan al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih
  6. Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhari
  7. Az-Zarqooni dalam Syarah al-Muwattho’
  8. Al-Hafidz Abu Syamah dalam kitabnya Al-Baa’its ‘ala Inkaaril Bida’wal-Hawaadits
  9. Al-Halabi dalam Insanul ‘Uyun fii Siirotin Nabiyyil Makmum
  10. Al-Baaji dalam Al-Muntaqo Syarah Al-Muwattho’
  11. Ibnul ‘Arobi dalam ‘Aaridhotul Ahwazi Syarah At-Turmuzi
  12. As-Shon’ani dalam Sabulus Salam
  13. As-Syaukani dalam Nailul Author
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Tuhfaturraghibin fi Bayan Haqiqat Al-Mu’minin wa ma Yufsidu min Riddatul Murtadin, Terbitan Kota Baru Pulau Laut Kalimantan Selatan, Cetakan 1408H, Halaman 77-80;
Bid’ah adalah mengada-adakan atau memperbaharui suatu pekerjaan yang tidak ada dalam agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam. Sama halnya apakah pekerjaan itu berupa i’tiqad atau perbuatan, maka perkerjaan yang diada-adakan itu tidak akan memberi maslahat kepada agama, ada kalanya Haram, Makruh serta Mubah, dan ada kalanya memberi maslahat sehingga Wajib atau Sunnat hukumnya.
Oleh karena itu bid’ah terbagi kepada lima bagian sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Syeikh ‘Izzudin Ibnu Abdis Salam, beliau berkata bahwa bid’ah itu terbagi kepada lima perkara yaitu:
  1. Bid’ah yang Wajib, seperti menafsirkan al-Qur’an, mensyarahkan Hadits, mengarang ilmu-ilmu alat, menguraikan Bahasa Arab; Ilmu-ilmu bahasa, Nahwu dan Sharf, Ilmu Bayan, Ilmu Ma’ani, Ilmu ‘Arudl, Ilmu Fara’id, menulis Ilmu Fiqih, Ilmu Ushuluddin serta menulis kitab yang menerangkan Hadits Shahih, hasan dan Maudlu’ atau Hadits Palsu.
  2. Bid’ah yang Sunnat, seperti membangun madrasah dan menguraikan secara jelas masalah-masalah tasawwuf yang Sunni.
  3. Bid’ah yang Mubah seperti berjabat tangan sesudah shalat subuh dan ashar, memakan makanan yang lezat, memakai pakaian yang bagus menempati rumah yang bagus atau mewah, dan melonggarkan lengan baju. Adapun mengenai berjabat tangan dikala bertemu bukanlah pekerjaan bid’ah karena warid dengan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
  4. Bid’ah yang Makruh, seperti menghiasi masjid, menghiasi mushhaf al-Qur’an.
  5. Bid’ah yang Haram, seperti masalah Jabariyyah, Qadariyyah, Murji’ah, Mujassimah, Wujudiyyah, dan lain sebagainya dari i’tiqad dan perbuatan bid’ah.
Menurut Imam Syafi’i, segala pekerjaan yang menyalahi al-Qur’an, Hadits, serta perkataan Sahabat atau Ijma’, maka termasuk bid’ah dhalalah.
Menurut Syeikh Abu Syakur Salami Qaddasallahu Sirrahu, dalam kitab Tahmid, bid’ah itu terbagi dalam lima perkara:
  1. Bid’ah mengenai Dzat Allah
  2. Bid’ah mengenai Sifat Allah
  3. Bid’ah mengenai Kalam Allah
  4. Bid’ah mengenai segala perbuatan hamba
  5. Bid’ah mengenai Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Adapun bid’ah mengenai Dzat Allah, Af’al, Kalam Allah, serta Sifat-sifatNya yang tidak sepantasnya, sudah jelas hukumnya kafir tanpa ada ikhtilaf di kalangan para ‘ulama dalam menetapkan kekafirannya.
Mengenai bid’ah dalam perbuatan hamba atau para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila bersalahan dengan firman Allah yang jelas, Hadits yang ittifaq seluruh ‘ulama mengenai keshahihannya, maka hukumnya tetap saja kafir tanpa ada ikhtilaf di kalangan para ‘ulama. Sedang apabila bid’ah itu menyalahi Qiyas dan Hadits yang tidak ittifaq seluruh ‘ulama mengenai keshahihannya, termasuk Hadits yang dita’wil, yang menjadikan syubhat, maka tidaklah menjadi kafir tetapi merupakan bid’ah sayyi’ah saja (termasuk perbuatan maksiat yang amat keji, yang wajib taubat atas perbuatan tersebut).