Minggu, 01 April 2012

X.Tahun Duka Cita ( ‘Amul Huzni) dan peristiwa di Tha’if.


X.Tahun Duka Cita ( ‘Amul Huzni) dan peristiwa di Tha’if.

Perasaan lega setelah 3 tahun lamanya di boikot secara ekonomi dan sosial tampaknya hanya berlangsung sekejap saja. Karena pada tahun ke 10 kenabian Khadijah ra, istri tercinta yang selama ini selalu setia mendukung, menyemangati, membesarkan dan menghibur Rasulullah dalam menjalankan tugas maha berat itu jatuh sakit. 
Dan tak lama kemudian Allah swtpun memanggil perempuan yang selama 25 tahun itu telah menemani Rasulullah, sebagai istri satu-satunya, sebagai ibu dari 4 anak perempuan dan 2 anak lelaki dari Rasulullah.
Betapa berdukanya Rasulullah saw. 
Bagaimanapun beliau adalah manusia biasa yang membutuhkan pendukung, pendamping, penyemangat dan penghibur dari orang yang dicintai dan mencintainya. 
Tugas yang diembannya adalah tugas yang maha berat. 
Mengajak orang menuju kebenaran bukanlah hal ringan. Orang-orang Quraisy terlalu keras kepala. 
Mereka suka berdebat namun dengan tujuan hanya ingin mentertawakan dan melecehkan Rasulullah.
“Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”.(QS.Az-Zukhruf(43):57-58).
Kedua ayat diatas menceritakan kembali kejadian ketika Rasulullah di hadapan orang-orang, membacakan ayat 98 surat Al-Anbiya yang mengatakan bahwa“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya”.  Sontak, salah satu orang Quraisy itu menanyakan tentang nasib Isa as yang disembah orang Nasrani, akankah ia menjadi kayu bakar neraka jahanam seperti berhala sesembahan mereka.
Rasulullah terdiam dan orang-orang Quraisy itupun menertawakannya. Padahal ayat diatas sebenarnya hanya ditujukan kepada sesembahan mereka bukan Isa as. Selanjutnya mereka kembali bertanya mana lebih baik, sesembahan mereka atau Isa Al-Masih. Maka dengan turunnya ayat 57 dan 58 diatas, Rasulullahpun menjadi faham bahwa pertanyaan mereka tidak perlu ditanggapi.
Menjadi utusan Allah memang perlu kesabaran extra. Hanya dengan pertolongan-Nya saja para utusan ini dapat menyelesaian misinya. Nabi Adam, nabi Nuh, nabi Yunus, nabi Ibrahim, nabi Daud, nabi Musa dan juga nabi-nabi lain suatu saat pernah berbuat ‘kesalahan’ di dalam pandangan-Nya. Begitupun nabi Muhammad saw. Sebagaimana seorang utusan Allah yang memiliki tanggung jawab tinggi, beliau begitu menginginkan agar dakwahnya mendapat sambutan.
Suatu hari ketika beliau sedang berdakwah di hadapan para pembesar Quraisy tiba-tiba datang seorang sahabat dan langsung menanyakan sesuatu. Tentu saja kehadiran sahabat tersebut mengganggu jalannya pertemuan. Maka Rasulullahpun tidak menanggapinya dan tanpa sengaja air mukanya agak berubah. Namun ternyata Allah swt tidak ridho terhadap reaksi beliau dan langsung menegurnya.
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) sedang ia takut kepada (Allah) maka kamu mengabaikannya“. (QS.Abasa(80):1-10).
Betapa menyesalnya Rasulullah. Ini bukanlah kebiasaan dan sifatnya. 
Beliaupun segera bertaubat. Menghadapi hal-hal seperti ini biasanya beliau tumpahkan isi hatinya kepada istrinya tercinta yang selalu bisa menghiburnya. 
Ini yang membuat beliau merasa begitu kehilangan.
Apalagi ketika beberapa bulan kemudian, Abu Thalib, paman yang selama ini selalu melindunginya juga wafat.  
Rasulullah tak dapat membayangkan apa yang bakal diperbuat orang-orang Quraisy terhadap dirinya tanpa perlindungan Abu Thalib. 
Namun yang juga membuat diri Rasulullah gundah adalah sikap Abu Thalib. 
Pamannya ini walapun selalu melindungi beliau namun ia sendiri sebenarnya tidak pernah mengucap syahadat.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS.Al-Qashash (28):56).
Abu Hurairah ( dan Sa’id bin Musayyab ) menerangkan bahwa  ayat diatas diturunkan berkenaan dengan Abu Thalib ketika mendekati ajalnya. Ia didatangi Rasulullah. Di sisinya ada Abu Jahal dan Abdillah bin Abu Umayah. Rasul bersabda : “ Wahai paman, ucapkanlah La ilaha illallah . Kalimat ini akan kujadikan argument di akhirat kelak bahwa kau adalah orang beriman”. Namun Abu Jahal dan Abdillah menentang. “ Hai Abu Thalib, apa kau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”. Hal ini terjadi berulang kali hingga pada hembusan nafas terakhirnya, Abu Thalib bersaksi tetap pada agama  Abdul Muththalib. Rasul sungguh sedih dan berkata : “ Aku akan terus meminta ampunan untukmu paman sebelum Allah melarang hal ini”. ( HR Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam”. (QS.At-Taubah(9):113
Ketika itu ayat di atas memang belum turun. Itu sebabnya Rasulullah berani berkata demikian. Di kemudian hari tahun dimana Khadijah dan Abu Thalib wafat dinamakan Tahun Duka Cita atau ‘Amul Huzni.
Kekhawatiran dan dugaan Rasulullah tidak salah. Begitu keduanya wafat, kebencian dan permusuhan orang-orang Quraisy terhadap Islam makin menjadi. 
Berbagai penghinaan dan kekerasan makin meningkat. 
Niat untuk menyingkirkan Rasulullah yag dulu pernah terhalang karena perlindungan Abu Thalib kini makin tampak nyata. 
Berbagai cara mereka coba, diantaranya dengan kekuatan tenung dan hipnotis.
“ Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al Qur’an dan mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila”. (QS.Al-Qalam (68):51).
Orang-orang Arab pada masa lalu adalah masyaratat jahiliyah. Ketika mereka merasa tidak senang atau membenci sesuatu mereka terbiasa menggunakan kekuatan pandangan mata atau apa yang sekarang biasa di sebut Hipnotis untuk mengalahkan lawannya. 
Ini yang hendak mereka lakukan terhadap Rasulullah. Namun melalui ayat 67 surat Al-Maidah Allah menjanjikan bahwa kekuatan tersebut tidak akan mempan terhadap diri Rasulullah. 
Oleh karenanya Rasulullah yang semula selalu didampingi para sahabat ketika berdakwah menyuruh para sahabat untuk membiarkannya seorang diri tanpa kawalan ketat.
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.(QS. Al Maidah(5):67).
“ Bahkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”.(QS.At-Thur (52):30).
Ibnu Abbas menegaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum Quraisy yang berkumpul di Darun Nadwah sambil membicarakan Rasulullah. Salah satu dari mereka berkata : “ Ikat dan penjarakan saja ia hingga mati seperti para ahli syair yang juga temannya terdahulu, Zuhair dan an-Nabighah”.( HR Ibnu Jarir).
Sungguh betapa pedihnya hati Rasulullah. Kemana beliau harus mencari perlindungan? Namun dengan turunnya ayat berikut hati Rasulullah agak lega. Karena paling tidak bukan diri dan pribadinyalah yang dimusuhi melainkan tugasnya sebagai Rasul Allah, seperti juga rasul-rasul lain yang selalu didustakan. Tugas para rasul hanyalah menyampaikan, Allah yang menentukan siapa yang mau mengikuti petunjuk dan mempercayai peringatan-Nya.
“ Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.  Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mu`jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”.(QS.Al-An’am(6):33-35).
Namun demikian Rasulullah menyadari bahwa dakwah harus dijalankan secara maksimal. Manusia harus berusaha mencari jalan bagaimana mengajak kepada kebaikan. Situasi dan kondisi kota Mekah tanpa adanya perlindungan dari seseorang yang memiliki wibawa dan pengaruh kuat terhadap masyarakat akan sangat sulit.
Rasulullah akhirnya memutuskan menuju Tha’if, kota peristirahatan sejuk di bukit dimana sebagian pembesar Mekah melewatkan waktu santainya. 
Di kota yang berjarak 70 km dari Mekah inilah Rasulullah akan mencari perlindungan dan dukungan dari bani Tsaqif. Siapa tahu dalam keadaan santai hati mereka bisa lebih lunak dan lembut sehingga ayat-ayat Allah bisa lebih mengena, begitu pikir Rasulullah. 
Maka berangkatlah beliau dengan ditemani Zaid bin Haritsah. Sepuluh hari lamanya mereka menetap di Tha’if.
Tetapi apa yang terjadi sungguh menyakitkan. 
Selama sepuluh hari itu tak satu orangpun mau mendengarkan ajakan beliau. 
Para pembesar itu tidak hanya menolak ajakan Rasulullah dengan kasar namun bahkan memerintahkan para preman dan budak untuk melempari beliau dengan batu hingga mengakibatkan luka-luka di kedua kaki beliau. 
Zaid berusaha melindungi tetapi kewalahan dan malah terluka di kepalanya.
Orang-orang biadab tersebut terus mengejar Rasulullah hingga mereka berdua sampai di sebuah kebun anggur milik Uqbah bin Rabi’ah. 
Ditempat ini barulah mereka berhenti dan membiarkan Rasulullah berlindung. 
Betapa sedih dan kecewanya Rasulullah hingga beliau akhirnya berdoa, mengadukan perasaan dan kegundahan hati beliau sebagai berikut ini :
Ya Allah… Kepadamu aku mengadukan kelemahan kekuatanku,
Dan sedikitnya kemampuanku,
Serta kehinaanku dihadapan manusia.
Wahai Sebaik-baik pemberi kasih sayang,
Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Tuhanku.
Kepada siapakah Engkau serahkan diriku,
Kepada orang yang jauh yang menggangguku,
Atau kepada musuh yang akan menguasai urusanku,
Asalkan Engkau tidak marah padaku maka tiadalah keberatan bagiku,
Akan tetapi kemurahan-Mu jauh lebih luas bagiku.
Aku berlindung dengan Cahaya Wajahmu yang akan menerangi seluruh kegelapan,
Dan yang akan memberikan kebaikan segala urusan dunia dan akhirat,
Untuk melepaskan aku dari Marah-Mu,
Atau menghilangkan Murka-Mu dariku.
Hanya pada-Mu aku merintih berharap mendapatkan Keridloan-Mu,
Dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Mu.
Begitu khusuknya beliau berdoa hingga tidak menyadari bahwa ternyata dua anak Rabi’ah memperhatikan apa yang dilakukan Rasulullah. 
Tampak jelas bahwa Sang Khalik sangat tersentuh dengan doa khusuk hamba-Nya yang sedang berduka tersebut hingga Ia kemudian berkenan menggerakkan hati si pemilik kebun untuk menyuruh pelayannya yang bernama Addas, seorang pemeluk Nasrani yang taat, agar mengambilkan buah anggur untuk diberikan kepada Rasulullah dan Zaid.
Rasulullahpun mengulurkan tangannya seraya mengucapkan : “Bismillahirohmanirohim”.
Mendengar itu Addas bertanya: “ Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini”. Maka terjadilah percakapan antara Rasulullah dengan Addas. Akhirnya Rasulullah menerangkan bahwa beliau adalah utusan Allah, sama dengan utusan-utusan yang dulu pernah dikirim-Nya. Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan Rasulullah, lalu mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki Rasulullah hingga Rasulullah terharu dibuatnya.
Beliau teringat pada janji Allah bahwa Ia akan selalu melindunginya. 
Tetapi bentuk perlindungan itu bukan berarti beliau bakal bebas dari hinaan dan cacian sebagaimana juga rasul-rasul lain.
Namun perlindungan itu dari  segala bentuk kejahatan seperti pengaruh hipnotis, makar dan pembunuhan yang beresiko menggagalkan perkembangan Islam. Hinaan dan cacian memang membuat beliau sedih namun Allah swt telah memberinya jalan untuk mengatasi hal tersebut,yaitu dengan shalat dan doa.
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat) dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”.(QS.Al-Hijr(15):97-99).
Namun demikian Allah swt ternyata tetap mengutus malaikat Jibril untuk menemui beliau, “ Sesungguhnya Allah mendengar perkataan kaummu terhadapmu dan Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu”.
Kemudian malaikat gunungpun datang dan berseru : “ Wahai Muhammad ! Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabbmu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu. Jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka”.
Aku bahkan menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukannya  dengan sesuatupun”, itulah jawaban Rasulullah. 
Betapa mulianya beliau. Tak tampak kebencian dan keinginan balas dendam terhadap kaum yang telah berbuat keji kepada beliau.
Selanjutnya dalam perjalanan menuju Mekah, Rasulullah mampir terlebih dahulu disuatu tempat. Ditempat ini beliau mendirikan shalat dan membaca Al-Quranul Karim.
Ketika itulah sekumpulan jin mendengar ayat-ayat Allah dan kemudian merekapun beriman.
Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan “.(QS.Al-Ahqaf(46):29).
Rasulullah sempat mengalami kesulitan untuk masuk kembali ke Mekah. 
Baru setelah mendapat jaminan perlindungan dari Muth’am bin Adi, Rasulullah dapat memasuki kembali kota dimana beliau dilahirkan dan dibesarkan itu dengan aman.
Tiba di Mekah, tanpa mengenal lelah Rasulullah kembali berdakwah mengajak kaum Quraisy untuk menyembah hanya kepada Allah.
Namun mereka menjawab bahwa bila mereka mengikuti Rasullah mereka khawatir akan diusir dari Mekah.
“ Dan mereka berkata: “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami”. Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.(QS.Al-Qashash(28):57).
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.(QS.Ali Imran(3):31-32).
( Bersambung)
Wallahu’alam bish shawab.