Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan umatnya yang senantiasa meniti petunjuknya.
Sesungguhnya di antara kekufuran yang nyata dan mengeluarkan dari Islam adalah berpaling dari agama Allah ‘Azza wa Jalla, tidak mau mempelajari dan mengamalkannya. Dan inilah yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad al Tamimi dalam kitabnya “Nawaqidl al-Islam” (Pembatal-pembatal keislaman), sebagai pembatal keislaman yang terakhir. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآَيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
“Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Sajdah: 22)
كَذَلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ مَا قَدْ سَبَقَ وَقَدْ آَتَيْنَاكَ مِنْ لَدُنَّا ذِكْرًا مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا خَالِدِينَ فِيهِ وَسَاءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلًا
“Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al-Quran). Barangsiapa yang berpaling dari Al-Qur’an, maka sesungguhnya dia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalamnya dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat.” (QS. Thaha: 99)
Yang dimaksud dengan berpaling di atas adalah masa bodo dan tidak mau mempelajari masalah pokok agama ini yang dengannya seorang menjadi muslim, walaupun mungkin masih jahil terhadap cabang-cabangnya, karena masalah ini hanya dikuasai para ulama.
Berpaling yang menyebabkan kekufuran adalah acuh dan tidak mau mempelajari masalah pokok agama ini yang dengannya seorang menjadi muslim, walaupun mungkin masih jahil terhadap cabang-cabangnya.
Sesungguhnya kondisi manusia sangat berbeda-beda. Perbedaan mereka ditentukan oleh tingkat keimanan mereka, selama pokok iman masih ada. Sedangkan peremehan dan syirik terjadi terhadap kewajiban dan masalah-masalah sunnah yang tingkatannya di bawah itu. Namun, apabila pokok iman yang bisa memasukkan dirinya ke dalam Islam tidak ada lalu dia berpaling secara keseluruhan, maka inilah bentuk kekufuran dan berpaling dari Islam.
I’radh ‘amali (berpaling dengan amal) ada dua bentuk: Pertama, berpaling dari dienul Islam secara total dan keseluruhan. Dan ini masuk dalam bagian masalah meninggalkan jenis amal. Dan meningalkan jenis amal terhitung berpaling dari amal Islam secara keseluruhan. Dan ini masuk dalam pembatal ke-Islaman ditinjau dari sisi ini. Dan sepertinya, ini yang nampak dari perkataan syaikh Muhammad al Tamimi.
Kedua, tidak mau komitmen dengan hukum-hukum Allah dan Syariat-Nya. Ini merupakan sikap berpaling yang bersifat khusus, hanya terjadi terhadap hukum dan undang-undang. Sengaja tidak komitmen terhadap Islam bisa dikafirkan apabila meninggalkan sikap komitmen terhadap salah satu hukum syariah. Bentuknya, tidak mengharamkan apa yang Allah haramkan dan tidak menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya, dan tidak mewajibkan apa yang telah Allah wajibkan.
Masing-masing dari keduanya menjadi pembatal yang berdiri sendiri. Karenanya membutuhkan penjelasan yang lebih rinci.
Meninggalkan semua jenis amal
Ini adalah persoalan yang sudah disepakati umat. Bahkan, terdapat penjelasan dari sebagian ulama salaf yang menghukumi kafir orang yang tidak mengafirkan siapa yang meninggalkan jenis amal. Nash-nash tentang bab ini sangat banyak, terkadang disebutkan dengan lafadz tawallai dan terkadang dengan i’radh dan lafadz yang semisal. Sesungguhnya iman adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Siapa yang tidak memiliki amal sedikitpun maka imannya tidak sah karena tidak memiliki salah satu rukunnya. Dan ini masalah pokok yang Allah perintahkan kepada para hamba-Nya.
اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 59, 65. 73, 85; Huud: 50, 61, 84; Al-Mukminun: 23, 32)
اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
“Sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakan kalian.” (QS. Al-Baqarah: 21) Dan ayat-ayat lain yang semakna dengannya.
Sesungguhnya tauhid memiliki dua rukun, yaitu ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Dan siapa yang tidak mengamalkan sedikitpun dari amal Islam maka dia meninggalkan salah satunya.
Kekafiran orang yang meninggalkan seluruh amal termasuk kufur amali, walaupun secara realita tidak mungkin terjadi kecuali orang yang hatinya sudah kafir. Rasanya tidak mungkin ada pokok keimanan dalam diri seseorang kalau tidak mendorongnya untuk beribadah kepada Allah dan bertaqarrub kepada-Nya dengan satu amal-pun.
Meninggalkan iltizam (komitmen)
Ini persoalan yang lain lagi. Boleh jadi seseorang melaksanakan shalat, puasa, dan haji lalu menolak untuk berkomitmen dengan hukum-hukum Allah seperti syari’at jihad dan pengharaman khamar (minuman keras), maka dia menjadi kafir yang murtad dari agamanya.
Tidak mau komitmen dengan syari’at Islam memiliki beberapa bentuk, di antaranya enggan atau menolak salah satu syari’at, sebagaimana yang diputuskan para sahabat untuk mengafirkan orang yang menentang kewajiban zakat. Di antaranya lagi, menolak hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan kaum munafikin:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. Al-Nisa’: 61)
Di antara syarat Laa Ilaaha Illallaah adalah tunduk dan menerima kalimat tauhid itu serta menerima tuntutannya. Barangsiapa yang tidak mau berkomitmen dengan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, tidak mau tunduk dan menerima, walau mungkin dia termasuk orang yang paham tapi tidak mau mengamalkan, dia memahami persoalan tauhid lalu berpaling darinya, maka dia telah kafir. Inilah bentuk kekufuran Iblis laknatullah ‘alaih. Dia enggan menerima perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Dan sebelum penolakannya itu dia tidak kafir. Kemudian dia menjadi kafir dengan perbuatannya dan manjadi pentolannya kaum kafirin sehingga layak mendapatkan laknat hingga hari berbangkit.
Adapun i’radh ‘amali terbagi menjadi dua: Pertama, berpaling dari mempelajari pokok agama dan persoalan yang menjadi syarat sahnya iman dan Islam. Siapa yang menerima Islam dan mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah lalu berpaling dari Islam, dengan tidak mau mempelajari kewajiban-kewajiban yang harus ia laksanakan, tidak mau mempelajari rukun Islam, tidak mau mempelajari shalat, puasa dan tidak mau mempelajari sesuatu untuk sahnya ibadah dia, maka dia menjadi orang kafir yang berpaling dari Islam.
Begitu juga orang yang bersyahadat Laa Ilaaha Illallaah wa Anna muhammad rasulullaah, lalu berpaling dari mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hak-hak beliau yang wajib ditunaikannya dan berpaling dari mengenal Allah dan mengenal sifat dan hak-hak-Nya yang wajib diketahui setiap orang, maka dia sudah kafir sebagaimana orang di atas.
Kedua, berpaling dari salah satu hukum Islam yang tidak pokok. Ini tidak menjadi pembatal dengan sendirinya. Karena sebagian orang ada yang meninggalkannya karena bodoh. Dan kebodohan semacam ini menjadi penghalang untuk dikafirkannya seseorang yang melakukan pembatal keislaman.
Tidak semua orang kafir itu mengetahui lantas menentang, tapi di antara mereka ada yang tidak mengetahui kebenaran sehingga melakukan kekufuran. Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (QS. Al-Anbiya’: 24)
Apabila kejahilan sebagai dosa yang tersendiri bagaimana bisa menjadi penghalang untuk dikafirkan pelakunya? Kejahilan yang bisa menjadi udzur adalah bodoh secara alami (terpaksa) yang tidak bisa dihilangkan. Sedangkan orang yang mungkin bisa belajar dan berilmu, tidak diberi udzur dalam masalah-masalah dzahir dari agama ini. Wallahu a’lam.
Kejahilan yang bisa menjadi udzur adalah bodoh secara alami (terpaksa) yang tidak bisa dihilangkan.
Sedangkan orang yang mungkin bisa belajar dan berilmu, tidak diberi udzur dalam masalah-masalah dzahir dari agama ini.
Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan juga seluruh sahabatnya. Amiiin…