Meluruskan Maksud Ucapan Imam Syafi’i
Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala pernah berkata:
اِذَاصَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“apabila shahih suatu hadits, maka dialah madzhabku“
Ucapan ini, yang juga senada dengan ucapan Imam hanafi dan Imam Maliki ternyata menimbulkan beragam interpretasi yang intinya:
- Setiap hadits yang shahih, maka siapapun boleh secara langsung mengamalkannya dan itu berarti telah mengamalkan pendapat imamnya.
- Ucapan tersebut tidaklah ditujukan kepada semua orang melainkan khusus kepada mereka yang sudah mendekati atau mencapai derajat Mujtahid.
Dari komentar-komentar para ulama, baik itu dari kalangan Syafi’i, Hambali, maupun Maliki ternyata bahwa sasaran ucapan tersebut dikhususkan kepada mereka yang sudah ahli dalam memahami nash dan mengetahui mana yang nasikh, dan mana yang mansukh, bukan ditujukan kepada semua orang.
Komentar dari ulama-ulama Syafi’i;
Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala dalam mukaddimah kitab al-Majmu’ jilid I/64 mengatakan, “Ucapan Imam Syafi’i ini tidaklah berarti bahwa setiap orang yang menemukan hadits shahih boleh berkata bahwa ini madzhab Syafi’i dan kemudian mengamalkannya secara tekstual. Hal ini hanyalah diperuntukan bagi orang yang telah mencapai derajat mujtahid dalam madzhab sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, atau mendekati derajat tersebut. Disyaratkan pula adanya bukti bahwa Imam Syafi’i belum mengetahui hadits ini atau belum mengetahui keshahihannya. Ini baru dapat terjadi apabila sudah menelaah semua kitab Imam Syafi’i dan kitab-kitab para sahabat Imam Syafi’i yang mengambil hadits dari beliau dan yang serupa dengan kitab-kitab itu, dan ini adalah syarat yang amat sulit sehingga amat sedikit orang yang dapat memenuhinya.”
Syaikh Abu Umar berkata, “Tidaklah gampang mengamalkan lahiriyah ucapan Imam Syafi’i ini. Karena itu, tidaklah setiap faqih (ahli fiqih) diperbolehkan secara mandiri mengamalkan begitu saja apa yang menurutnya telah disebutkan dalam sebuah hadits.”
Komentar dari ulama-ulama Hanafi;
Ibnu Abidin dalam Hasiyahnya jilid I/68 mengatakan, “Jelas bahwa hal ini (yakni ucapan “apabila shahih suatu hadits, maka dialah madzhabku”) diperuntukkan bagi orang yang ahli dalam memahami nash serta mengetahui yang muhkam dan yang mansukh.”
Muhammad ‘Awwamah dalam kitabnya Atsar al-Hadits al-Syarif fi Ikhtilaf al-A’immah al-Fuqoha’ mengatakan, “Komentar Ibnu Abidin ini menunjukkan bahwa beliau memandang syarat atau pembatasan ini sebagai perkara yang jelas dan gamblang, yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Jelas sekali bahwa ucapan “apabila shahih suatu hadits, maka dialah madzhabku” adalah dikhususkan bagi mereka yang ahli dalam memahami nash, mengerti yang nasikh dan mansukh serta yang lainnya. Tidaklah diperbolehkan sekali-kali bagi orang yang bodoh dan baru belajar untuk menempati kedudukan ini.”
Syaikh Abdul Ghaffar (1290-1349), seorang pemuka madzhab Hanafi yang termasuk mufassir, muhaddits dan faqih mengomentari apa yang telah disyaratkan oleh Ibnu Abidin, “Ini adalah syarat yang baik karena kita melihat pada zaman sekarang banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya berada di atas awan padahal ia masih terkurung di lembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu dari kitab hadits yang enam (kutub as-sittah) dan di situ ia menemukan hadits yang berlawanan dengan madzhab Abu Hanifah lalu ia berkata, ‘Lemparkanlah madzhab Abu Hanifah itu ke dinding pagar dan ambillah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.’ Padahal hadits yang ia temukan itu telah mansukh atau bertentangan dengan hadits yang sanadnya lebih kuat dan hal lainnya sehingga hilangnya kewajiban pengamalannya dan dia tidak mengetahui hal ini. Bila pengamalan suatu hadits seperti ini diserahkan kepadanya secara mutlak, maka ia akan tersesat dalam banyak soal dan akan menyesatkan orang lain yang bertanya kepadanya.”
Komentar dari ulama-ulama Maliki;
Al-Imam al-Hujjah Syihabuddin Abil Abbas al-Qarrafi, penulis kitab al-Furuq, al-Ahkam dan yang lainnya mengatakan, “Banyak diantara fuqaha’ Syafi’i yang berpegang kepada pendapat ini (“apabila shahih suatu hadits, maka dialah madzhabku”) dan berkata, ‘Demikianlah madzhab Syafi’i karena hadits ini adalah hadits shahih.’ Padahal ia telah keliru karena ia mesti menduga tidak ada penentang suatu hadits tergantung pada orang yang memiliki keahlian dalam meneliti syari’ah, sehingga diketahui benar bahwa hadits itu tidak ada penentangnya.” Penisbatan suatu hukum kepada madzhab Syafi’i atas dasar sebuah hadits shahih hanya boleh dilakukan setelah melalui penyelidikan yang sempurna agar diyakini tidak terdapat dalil lain yang menentangnya. Dan hal ini hanya dimiliki oleh mujtahid, tidak yang lainnya, yaitu orang yang mempunyai keahlian sempurna dalam meneliti syari’ah, tidak cukup hanya sekedar mengetahui hadits saja.
Diantara pengikut Syafi’iyah ada yang mengamalkan lahiriyah ucapan Imm Syafi’i. Mereka mengamalkan hadits yang sengaja ditinggalkan oleh Imam Syafi’i, padahal beliau telah megetahui keshahihannya. Hal ini beliau lakukan karena telah tampak pada beliau adanya hadits lain yang menentang pengamalan hadits dimaksud dan rupanya itu tidak tampak pada imam yang lain.
Salah satu pengikut Syafi’iyah yang melakukan hal tersebut adalah Abul Walid Musa Ibnu Abil Jarud, salah seorang sahabat Imam Syafi’i. Dia berkata, “Telah shahih hadits yang berbunyiاَفْطَرَالْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ ‘Batal puasa orang yang membekam dan juga yang dibekam (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah).’ Maka menurutku, Imam Syafi’i pun berpendapat bahwa puasa orang yang membekam dan yang dibekam adalah batal.”
Apa yang diucapkan oleh Abil Jarud ini dibantah oleh ulama-ulama Syafi’iyah yang lain karena Imam Syafi’i telah meninggalkan hadits tersebut walaupun beliau tahu tentang keshahihannya, hai ini karena dalam pandangan beliau hadits tersebut mansukh (telah terhapus hukum yang dikandungnya) dan beliaupun telah pula menjelaskan dalil shahih yang menasakhnya yaitu hadits riwayat Imam Bukhari, “Berkata Ibnu Abbas RadhiAllahu Anhu; Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berbekam, padahal beliau sedang ihram dan berpuasa.” Jika dua hadits shahih bertentangan dan keduanya tidak bisa dikonfromikan, maka jalan yang ditempuh adalah mengunggulkan salah satu hadits, dalam kasus ini hadits shahih riwayat Imam Bukhari tentu harus didahulukan karena semua ulama hadits telah sepakat bahwa hadits riwayat Imam Bukhari adalah yang paling tinggi keshahihannya.
Setelah mengetahui alasan-alasan dari para ulama Syafi’iyah yang membantahnya, Ibnu Abil Jarud dengan besar hati menarik kembali pernyataannya. Bahkan ulama lain yang sebelumnya mendukung Ibnu Abil Jarud yakni Abul Walid an-Naisaburi Hasan bin Muhammad (w.349H) -seorang ulama yang disamping sebagai rawi, juga ahli riwayat dan dirayah- akhirnya bersumpah, “Demi Allah, Imam Syafi’i telah meninggalkan pengamalan suatu hadits dengan sengaja karena pada pandangan beliau hadits tersebut telah mansukh.”
Jika Demikian sikap para ulama besar, maka bagaimanakah halnya dengan kita sekarang? Apakah boleh bagi kita menisbatkan suatu hukum kepada Imam Syafi’i berdasarkan pernyataan beliau tersebut, sedangkan kita belum memahami dengan sepenuhnya apa maksud dari pernyataan Imam Syafi’i?