A. Pengertian Khitbah
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "………Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq 'alaih)
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan