Berbakti Sampai Mati
إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ
Sesungguhnya di antara berbakti yang paling baik adalah seseorang menyambungkan hubungan kepada keluarga teman dekat ayahnya sesudah ia meninggal dunia
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan dalam kitab berikut ini:
Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah bab fadlli shilah ashdiqa`il-ab wal umm wa nahwihima no. 6677-6679.
Sunan Abi Dawud kitab al-adab bab fi birril-walidain no. 5145
Sunan at-Tirmidzi kitab al-birr was-shilah bab ikram shadiqil-walid no. 1903
Musnad Ahmad bab hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar no. 5612, 5653, 5721, 5896.
Syarah Ijmali
Dalam riwayat Muslim dan Ahmad, dikutip dialog antara ‘Abdullah ibn Dinar—seorang tabi’in—dengan ‘Abdullah ibn ‘Umar yang menjadi shahabat periwayat hadits di atas, sebelum Ibn ‘Umar menyampaikan hadits di atas:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ كَانَ لَهُ حِمَارٌ يَتَرَوَّحُ عَلَيْهِ إِذَا مَلَّ رُكُوبَ
الرَّاحِلَةِ وَعِمَامَةٌ يَشُدُّ بِهَا رَأْسَهُ فَبَيْنَا هُوَ يَوْمًا عَلَى ذَلِكَ الْحِمَارِ إِذْ مَرَّ بِهِ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ أَلَسْتَ ابْنَ فُلاَنِ
بْنِ فُلاَنٍ قَالَ بَلَى. فَأَعْطَاهُ الْحِمَارَ وَقَالَ ارْكَبْ هَذَا وَالْعِمَامَةَ قَالَ اشْدُدْ بِهَا رَأْسَكَ. فَقَالَ لَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ
غَفَرَ اللَّهُ لَكَ أَعْطَيْتَ هَذَا الأَعْرَابِىَّ حِمَارًا كُنْتَ تَرَوَّحُ عَلَيْهِ وَعِمَامَةً كُنْتَ تَشُدُّ بِهَا رَأْسَكَ. فَقَالَ إِنِّى
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ r يَقُولُ: إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّىَ. وَإِنَّ أَبَاهُ كَانَ صَدِيقًا
لِعُمَرَ.
Dari ‘Abdullah ibn Dinar, dari Ibn ‘Umar, bahwasanya Ibn ‘Umar apabila hendak ke Makkah membawa keledainya untuk dikendarainya—jika ia sudah bosan untuk mengendarai unta—juga membawa sorban yang ia ikatkan pada kepalanya. Pada suatu hari, ketika ia sedang mengendarai keledainya, tiba-tiba ada seorang laki-laki Arab gunung yang lewat, maka dia berkata: “Bukankah kamu ini adalah fulan putra fulan?” Orang tersebut menjawab: “Ya, benar.” Lalu Ibn Umar memberikan keledainya kepada orang itu sambil berkata: “Naikilah ini.” Demikian juga sorbannya dengan mengatakan: “Ikatkanlah sorban ini di kepalamu.” Salah seorang kawan Ibn ‘Umar lalu berkata: “Semoga Allah mengampunimu. Kamu telah memberikan keledai yang biasa kamu jadikan kendaraanmu dan sorban yang biasa kamu ikatkan di kepalamu kepada orang Arab gunung itu!?” Ibn ‘Umar menjawab: “Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya di antara berbakti yang paling baik adalah seseorang menyambungkan hubungan kepada keluarga teman dekat ayahnya sesudah ia meninggal dunia.” Sesungguhnya bapak orang Arab gunung itu dahulu adalah teman dekat ‘Umar ibn Khaththab.
Hadits ini menjadi dalil bahwa berbakti kepada orang tua tidak terputus dengan kewafatan orang tua. Meskipun mereka sudah meninggal dunia, amal berbakti kepada mereka masih tetap ada, yakni dengan menjaga hubungan baik (shilah) kepada keluarga teman dekat orang tua. Ibn ‘Umar telah mencontohkannya; kepada anak dari teman dekat ayahnya, ‘Umar ibn al-Khaththab, Ibn ‘Umar menaruh hormat yang tinggi kepadanya. Hal ini menguatkan riwayat tentang cara berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal. Dalam hadits yang dinilai dla’if oleh al-Albani (dalam Sunan Abi Dawud dan Ibn Majah) dan Syu’aib al-Arnauth (dalam Musnad Ahmad) tetapi dinyatakan shahih oleh al-Hakim (dalam al-Mustadrak) tersebut, Nabi saw menjelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ مَالِكِ بْنِ رَبِيعَةَ السَّاعِدِىِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ r إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ اَلصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا
وَاْلاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا
Dari Abu Usaid Malik ibn Rabi’ah as-Sa’idi, ia berkata: Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw, datang seseorang dari Bani Salimah lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah tersisa sedikit saja dari kebaikan yang bisa aku lakukan untuk orang tuaku sesudah kewafatannya?” Beliau menjawab: “Ya, yaitu mendo’akan mereka, memohon ampunan untuk mereka, memenuhi janji mereka, menyambungkan hubungan kekerabatan yang hanya bisa terhubungkan melalui mereka, dan menghormati teman mereka.” (Sunan Abi Dawud kitab al-adab bab fi birril-walidain no. 5144, Sunan Ibn Majah kitab al-adab bab shil man kana abuka yashilu no. 3664; Musnad Ahmad no. 16103; al-Mustadrak ‘alas-Shahihain kitab al-birr was-shilah bab hal baqiya min birri abawayya syai`un no. 7369)
Disebutkannya bapak dalam hadits di atas, tentu tidak berarti terbatas pada bapak saja, melainkan juga berlaku bagi keluarga teman dekat ibu. Sebab sebagaimana sudah umum dipahami, ibu lebih berhak mendapatkan penghormatan yang lebih dibanding bapak, sebagaimana tercermin dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ r فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي
قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw lalu bertanya: “Wahai Rasulullah saw, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baikku?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Kemudian ayahmu.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab man ahaqqun-nas bi husnis-shuhbah no. 5971; Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah wal-adab bab birril-walidain wa annahuma ahaqqu bihi no. 6664)
Berkaitan dengan hadits ini, Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari, menguraikan penjelasan dari para ulama yang mengarah pada satu kesimpulan bahwa hak penghormatan terhadap ibu tiga kali lipat melebihi ayah disebabkan ibu yang mengandung, melahirkan, dan menyusui anak. Tiga hal yang tidak dilakukan oleh ayah. Berbagai ayat al-Qur`an yang menyinggung keharusan berbakti kepada orang tua sering menyebut jasa ibu dalam ketiga hal tersebut (Lihat misalnya QS. Al-Ahqaf [46] : 15 dan Luqman [31] : 14)
Bahkan menurut Imam an-Nawawi dalam kitab syarahnya terkait hadits di awal, keharusan berbakti kepada keluarga teman dekat ayah tersebut juga berlaku bagi keluarga istri dan kerabat lainnya yang sudah meninggal. Hal ini sesuai dengan jawaban Nabi saw atas pernyataan yang sama dengan hadits di atas, tetapi dalam riwayat lain terdapat tambahan sesudah bapak, yaitu:
أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
Ibumu, lalu ibumu, lalu ibumu, lalu ayahmu, lalu yang terdekat kepadamu, yang terdekat kepadamu (Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah wal-adab bab birril-walidain wa annahuma ahaqqu bihi no. 6664).
Nabi saw sendiri mencontohkan selalu menyambungkan hubungan yang baik dengan keluarga Khadijah, istrinya yang meninggal dunia lebih dahulu. Sebagaimana diceritakan ‘Aisyah ra:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ r مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا
وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ r يُكْثِرُ ذِكْرَهَا وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يُقَطِّعُهَا أَعْضَاءً ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيجَةَ فَرُبَّمَا
قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلَّا خَدِيجَةُ فَيَقُولُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Aku tidak cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi saw seperti cemburuku kepada Khadijah. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, tetapi Nabi saw sering sekali menceritakannya. Setiap kali beliau menyembelih kambing, sering beliau memotong-motongnya beberapa bagian, lalu mengirimkannya kepada kerabat Khadijah. Terkadang aku berkata kepada beliau: “Seolah-olah tidak ada lagi wanita lain selain Khadijah!” Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya Khadijah itu begini, begini, dan aku punya anak dari Khadijah.” (Shahih al-Bukhari kitab manaqib al-anshar bab tazwijin-Nabi saw Khadijah wa fadlliha no. 3818. Riwayat yang semakna terdapat juga pada no. 3816, 3817. Dalam riwayat Muslim kitab fadla`ilis-shahabah bab fadla`il Khadijah ummil-mu`minin no. 6431, disebutkan oleh ‘Aisyah, Nabi saw selalu memerintahkan: Arsilu biha ila ashdiqa`i Khadijah: Tolong bawakan ini kepada kerabat Khadijah).
Di sinilah terlihat kaitan erat antara al-birr (berbakti) dan as-shilah (menyambungkan hubungan baik). Sehingga tidak heran kalau mulai dari Imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, sampai Ibn Hajar dalam kitab Bulughul-Maram, selalu mengaitkan kedua tema tersebut dalam satu judul bab; bab al-birr was-shilah. Artinya sebuah penegasan bahwa birr itu harus disertai shilah, dan ini tidak berlaku ketika hidup saja, setelah meninggal pun amal birr dan shilah harus terus diamalkan. Terlebih hadits Nabi saw yang lain menitahkan kita untuk tidak menghina orang lain siapapun itu, sebab nanti anaknya akan balas berbalik menghina orang tua kita, dan ini berarti kita telah melaknat orang tua kita sendiri. Sebuah dosa yang sungguh sangat besar (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab la yasubbur-rajul walidaihi no. 5973, Shahih Muslim kitab al-iman bab bayanil-kaba`ir wa akbariha no. 273). Jelas sekali bahwa birr kepada orang tua harus dengan shilah (membina hubungan baik) dengan siapa pun, terlebih teman dekat orang tua kita.
Kedudukan ajaran berbakti kepada orang tua adalah ajaran terpenting di bawah kemestian beribadah hanya kepada Allah swt dan meninggalkan syirik. Dalam berbagai ayat—sebut misalnya QS. An-Nisa` [4] : 36, al-An’am [6] : 151, al-Isra` [17] : 23-24, Luqman [31] : 14—Allah swt selalu menyebut keharusan berbuat ihsan kepada orang tua dalam urutan kedua sesudah perintah tauhid. Demikian juga dalam berbagai hadits yang menerangkan al-kaba`ir (dosa-dosa besar), penyebutan durhaka kepada orang tua ditempatkan kedua sesudah musyrik (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayanil-kaba`ir wa akbariha no. 269-270).
Maka dari itu tidak heran jika ada seorang pemuda yang hendak berjihad, dititahkan oleh Nabi saw untuk meminta izin terlebih dahulu kepada orang tuanya. Menurut para ulama, itu disebabkan jihad fardlu kifayah, sedangkan berbakti kepada orang tua fardlu ‘ain. Terkecuali jika jihadnya sudah fardlu ‘ain, seperti ketika musuh menyerang halaman rumah kita, maka tidak perlu izin kepada orang tua. Dalam hal ini, berlaku juga untuk safar (bepergian) yang status hukumnya lebih rendah daripada jihad, mesti meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua, kecuali jika safarnya sudah fardlu ‘ain (Fath al-Bari syarah hadits Shahih al-Bukhari kitab al-jihad was-sair bab al-jihad bi idznil-abawain no. 3004).
Bahkan dalam kasus perceraian pun nasihat orang tua layak diperhatikan. Ketika ‘Umar memerintahkan putranya, Ibn ‘Umar, untuk menceraikan istrinya, semula ia enggan, sampai kemudian Rasul saw turut menyuruhnya untuk menceraikannya, ia pun menceraikannya (Sunan Abi Dawud kitab al-adab bab fi birril-walidain no. 5140, Sunan at-Tirmidzi kitab at-thalaq bab ar-rajul yas`aluhu abuhu an yuthalliqa imra`atahu no. 1189). Dalam kasus lain, seorang lelaki datang kepada Abu ad-Darda` mengadukan bahwa ibunya telah menyuruhnya untuk menceraikan istrinya. Waktu itu Abu ad-Darda` menjawab dengan sabda Rasul saw yang pernah ia dengar:
اَلْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ
Orang tua itu pintu surga yang terluas. Jika kamu memang mau, hancurkanlah pintu itu, atau jagalah. (Sunan at-Tirmidzi kitab al-birr was-shilah bab minal-fadlli fi ridlal-walidain no. 1900; Sunan Ibn Majah kitab at-thalaq bab ar-rajul ya`muruhu abuhu bi thalaqi imra`atihi no. 2089)
Syaikh al-’Utsaimin menjelaskan dalam syarah Riyadlus-Shalihin bab birr al-walidain, bahwa hadits ini tentunya berlaku bagi orang tua yang kedudukannya seperti ‘Umar; shaleh, paham terhadap agama, dan bijaksana. Orang tua yang dipastikan penilaiannya berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan hawa nafsu. Jika ornag tua yang seperti itu menyarankan untuk cerai, maka sayang sekali jika saran mereka diabaikan karena akan menyebabkan pintu surga ikut terabaikan. Wal-’ilm ‘indal-’Llah