Jumat, 30 Maret 2012
Syukur versus Angkuh...
Sahabat saudaraku fillah..berikut ini sebuah renungan yang tercantum dalam Al-Qur’an tentang dua model manusia yang super kaya dari masa yang berbeda.
Yang satu beriman, sedang yang lain kafir.
Yang satu suka memberi hartanya, sedang yang lain lebih suka menyimpan dan memamerkan hartanya. Kedua orang itu adalah Nabi Sulaiman Alaihissalam dan Qarun.
Syukur versus Angkuh...
Nabi Sulaiman mewarisi kerajaan yang amat luas dari ayahnya, Nabi Daud Alaihissalam. Tentaranya terdiri dari manusia, binatang, dan jin. Sulaiman juga diberi kemampuan untuk memahami bahasa binatang, bahkan di antaranya dijadikan intelijen.Tapi, kekuasaan besar dan kekayaan yang melimpah di tangan Sulaiman itu tidak menjadikannya sombong dan ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya, semua itu justru menjadikannya lebih bersyukur.Ia pun menjadi manusia yang taat dan saleh, baik secara ritual maupun sosial. Ini tercermin dalam doanya yang diabadikan dalam Al-Qur`an berikut ini:
Ya Rabb..., berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan untuk mengerjakan amal saleh (kebajikan) yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam kelompok hamba-hamba-Mu yang saleh. (An-Naml [27]: 19)
Sementara Qarun adalah seorang konglomerat besar yang hidup semasa dengan Fir’aun. Ia dikarunia harta yang melimpah dan kekayaan yang luar biasa. Al-Qur`an menggambarkan kekayaannya sebagai berikut:
....Perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Al-Qashash [28]: 76)
Sayangnya, dengan kekayaan yang luar biasa itu ia malah menjadi sombong dan angkuh. Jangankan bersyukur, ia bahkan mengklaim bahwa semua kekayaannya diperoleh berkat ilmu dan kecerdikannya sendiri.
Qarun berkata, sesungguhnya aku diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku. (Al-Qashash [28]: 78)
Qarun sering keluar rumah dengan iring-iringan besar dan pengawalan yang super ketat. Ia sekedar ingin memamerkan kekayaannya sehingga orang yang menyaksikannya berdecak kagum sambil berkata seperti yang digambarkan Al-Qur`an:
Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. (Al-Qashash [28]: 79)
Qarun telah lupa daratan. Ia senang pujian, sanjungan, dan tepuk tangan. Ia merasa puas jika orang-orang di sekitarnya mengagumi harta kekayaannya. Dalam hatinya tak sedikitpun terbersit keinginan untuk berbagi dengan hartanya, walaupun sedikit.
Apa akibatnya? Qarun yang tak tahu diri dan sombong itu akhirnya mati bersama dengan seluruh harta kekayaannya dan tak seorangpun yang mampu memberikan pertolongan kepadanya (lihat Al-Qur`an surat al-Qashash ayat 81).
Nabi Sulaiman dan Qarun adalah dua simbol manusia yang menyikapi harta secara berbeda. Nabi Sulaiman menganggap harta miliknya sebagai karunia Allah Ta’ala yang harus disyukuri dan dibagi-bagikan kepada sesama manusia yang membutuhkan.
Sementara Qarun mengira bahwa hartanya diperoleh karena ilmu, kecerdikan, dan kerja kerasnya. Ia menganggap harta kekayaan itu miliknya yang harus dinikmati dan dibangga-banggakan, bukan untuk dibagi.
Dua sikap yang berbeda itu menghasilkan akibat yang berbeda pula. Nabi Sulaiman yang peduli terhadap sesama dan dermawan memiliki kehidupan yang penuh kedamaian, kesuksesan, dan kebahagiaan. Ia mulia dan dimuliakan baik di dunia maupun di akhirat dengan surga.
Adapun Qarun yang memiliki sikap berlawanan dengan kehendak Allah Ta’ala justru mengalami nasib yang mengenaskan: di dunia bangkrut dan binasa, di akhirat mendapat azab dan siksa yang pedih di neraka.
Islam sangat menginginkan umatnya hidup saling mencintai, menyayangi, dan berbagi. Bahkan, semangat itu dijadikan ukuran keimanan seseorang.Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda:
“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasai)
Dengan landasan cinta, seorang muslim seharusnya menjadi penolong sekaligus pelindung bagi muslim yang lain , mendahulukan orang lain dibandingkan dirinya sendiri dan menghindari sikap egois dan individualis. Mereka mengutamakan persatuan, hidup saling menyanyangi dan mencintai.
Allah Ta a’la menggambarkan mereka dalam Al-Qur`an:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain”. (At-Taubah [9]: 71)
Di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam , sikap seperti ini pernah dipraktikkan dalam kehidupan nyata, yakni saat kaum Anshar (penduduk Muslim Madinah) menolong kaum Muhajirin (penduduk Makkah yang berhijrah) tanpa pamrih. Al-Qur`an mencatat hal ini dalam ayat berikut:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya , mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Al-Hasyr [59]: 9)
Kejadian seperti itu tidak hanya sekali terjadi. Pada tataran individu, kejadian semacam itu bisa terjadi sehari-hari.
Misalnya apa yang terjadi pada Abu Hurairah. Pada suatu hari, sahabat Rasulullah yang dikenal miskin itu berkunjung ke rumah Rasulullah demi mengadukan dirinya yang telah beberapa hari belum makan. Mengetahui hal itu, Abu Thalhah berinisiatif untuk mengambil alih masalah. Ia mengundang sahabatnya itu ke rumahnya untuk dijamu makan malam. Sayangnya, malam itu tidak ada makanan di rumahnya kecuali tinggal sedikit saja. Itupun merupakan jatah anak-anaknya. Maka ia kemudian berunding dengan istrinya, dan mengambil sebuah keputusan yang luar biasa, yakni makanan yang ada diperuntukan hanya bagi sang tamu.
Untuk itu, mereka segera menidurkan anak-anaknya tanpa makan malam. Sementara saat tamunya sedang menikmati hidangan, Abu Thalhah dan isterinya berpura-pura makan dengan cara memadamkan lampunya agar tidak terlihat. Abu Hurairah pun makan hingga kenyang, kemudian permisi pulang tanpa mengatahui apa yang sebenarnya terjadi. Keesokan harinya, saat shalat shubuh, iapun menunaikan shalat hingga selesai.
Seusai shalat Rasulullah Shallalahu Alaihi Wa sallam berpaling kepada para sahabatnya dan bertanya, “Apa yang kalian lakukan semalam sehingga turun ayat yang memuji kalian?“ Ayat itu adalah ayat ke-9 dari Surah al-Hasyr di atas.
Dalam hal berbagi, para sahabat Rasulullah tidak mengenal istilah berhitung untung rugi. Mereka bahkan tak takut jatuh miskin, sekalipun seluruh harta miliknya telah habis dibagi-bagikan. Mereka berkeyakinan bahwa harta milik sebenarnya adalah apa yang telah disedekahkan, bukan harta yang masih di tangan.
Jika seperti itu semangat para sahabat Rasulullah , bagaimana dengan Rasulullah sendiri? Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah tidak pernah dimintai sesuatu kecuali beliau akan memberikannya. Suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah , lalu beliau memberinya kambing sejumlah yang berada di dua gunung. Lelaki itu lantas pulang ke kaumnya seraya berseru, “Wahai kaumku, masuklah kalian semua ke dalam Islam. Sesungguhnya Muhammad memberi sebagaimana pemberian orang yang tidak takut miskin.”
Sangat wajar jika Ibnu Abbas memberikan pernyataan tentang kemurahan hati beliau, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya, yakni: Rasulullah adalah orang yang paling murah hati, lebih-lebih ketika bertemu Jibril di bulan Ramadhan. Beliau bertemu Jibril pada setiap malam bulan Ramadhan untuk tadarus Al-Qur`an. Maka sifat murah hati Rasulullah melebihi hembusan angin.Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah di atas.