Kamis, 05 April 2012

Berita Gaib Antara Kufur dan Iman


Berita Gaib Antara Kufur dan Iman

Hal-hal gaib dan keimanan senantiasa berjalan seiring. Karena butuh “pupuk” keimanan untuk meyakininya. Hal ini memang tidak bisa tidak. Dalam syariat Islam, kita memang dihadapkan pada sejumlah hal gaib yang sulit dicerna oleh akal kita yang terbatas, sukar ditelaah oleh indera kita yang lemah, bahkan yang sedikit pun tak terbetik di benak.

Kewajiban taat kepada Rasulullah n adalah sesuatu yang telah dipahami oleh segenap kaum muslimin. Hal ini bisa diketahui melalui bermacam bentuk ibadah yang mereka lakukan, baik yang ada tuntunannya ataupun tidak, dengan alasan taat kepada Rasulullah n. Juga dari berbagai bentuk shalawat yang mereka kumandangkan baik yang telah diajarkan Rasulullah n atau yang tidak dituntunkan oleh beliau. Mereka pun mengatakan beriman, dan cinta kepada Rasulullah n.
Namun yang dituntut bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi aplikasi dari cinta tersebut dalam bentuk amal. Orang yang benar-benar menaati beliau n tidak akan berani mendekati amalan-amalan yang tidak beliau n syariatkan. Karena ia mengetahui bahwa sikap dan cara demikian termasuk kelancangan dalam agama. Di sisi lain, dia akan berusaha mencari pengetahuan tentang syariat beliau n. Dia tahu bahwa melakukan amalan yang tidak dituntunkan oleh beliau n merupakan sebuah tuduhan bahwa beliau berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah l, atau bahwa ada amalan yang beliau n rahasiakan dan tidak beliau n sampaikan kepada umat ini. Orang yang benar-benar taat kepada Rasulullah n akan berusaha menyesuaikan segala ucapan, amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau n.
Al-Imam Malik t berkata: “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama dan dia menganggapnya baik, sungguh dia telah menuduh Rasulullah n berkhianat dalam menyampaikan risalah. Padahal Allah l mengatakan:
‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian.’ Maka apa yang dulu bukan sebagai agama, maka pada hari ini bukan pula sebagai agama.” (Al-I’tisham, 1/49)
Jika hal ini –menyesuaikan amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau n– tidak dilakukan, berarti pengakuan taat hanya sebatas di lisan. Begitu juga cinta yang benar kepada beliau adalah kecintaan yang akan membuahkan kemurnian taat, membela Sunnah beliau dari segala yang mengotori dan merusaknya, serta mencintai orang-orang yang mengamalkan Sunnah beliau di manapun mereka berada. Bila tidak demikian, niscaya cinta hanya sebatas pengakuan di mulut semata.
Munculnya pengakuan taat dan cinta kepada beliau namun tidak mengetahui jalan dan caranya, disebabkan oleh beberapa perkara:
- Tersebarnya perkara-perkara baru di tengah umat yang dianggap sebagai bagian agama.
- Terbelenggunya mereka dengan sikap taqlid buta (mengikuti sebuah ucapan/perbuatan/keyakinan tanpa dalil).
- Melekatnya sikap fanatisme yang telah mendarah daging pada mereka.
- Adanya sikap ghuluw (berlebihan) dalam menyikapi ucapan, perbuatan atau pengajaran orang alim menurut pandangan mereka, sehingga dia seakan-akan orang ma’shum yang terbebas dari dosa.
- Munculnya para “pujangga-pujangga” agama yang kosong dari ilmu namun berani berbicara tentang agama.

Ketaatan kepada Rasulullah n adalah Ketaatan kepada Allah l
Ketaatan kepada beliau adalah ketaatan yang mutlak. Artinya, segala apa yang beliau perintahkan hendaknya dilakukan dan segala yang beliau n larang hendaknya ditinggalkan. Juga, membenarkan apa yang beliau n beritakan dengan tanpa memilih dan memilah. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah l dan Rasul-Nya n.
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 1-4)
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (An-Nur: 52)
“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)
“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul agar kalian mendapatkan rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)
Nabi n bersabda:
“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku berarti telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amirku maka dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Ahkam, Bab Qaulullah ta’ala: Wa Athi’ullah…, no. 6603)
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Mereka berkata: “Siapakah yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang taat kepadaku, dialah yang mau masuk surga. Dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku, dialah yang enggan.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul I’tisham bil Kitab was Sunnah, Bab Al-Iqtida` bi Sunani Rasulillah, no. 6737)
Al-Imam Az-Zuhri t berkata: “Dulu para ulama kita berkata: ‘Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Ad-Darimi t dalam Sunan beliau, 1/44)
Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya (‘Urwah), dia berkata: “Berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, karena sesungguhnya As-Sunnah adalah tonggak agama.” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 29)
Al-Auza’i t berkata: “Lima perkara yang para sahabat dan tabi’in berada di atasnya: Konsisten dengan Al-Jamaah, berpegang dengan As-Sunnah, meramaikan masjid, membaca Al-Qur`an, dan berjihad di jalan Allah l.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/142)
Abdullah bin Ad-Dailami t berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama karena meninggalkan sunnah-sunnah. Agama hilang satu sunnah demi satu sunnah, sebagaimana lepasnya tali seikat demi seikat.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi sebagaimana dalam kitab Miftahul Jannah hal. 62 dan Abu Nu’aim t dalam kitab Al-Hilyah, 1/310)
Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin ‘Atha` t berkata: “Barangsiapa yang berpegang teguh dengan adab-adab As-Sunnah, niscaya Allah l akan melumuri hatinya dengan cahaya ma’rifah, dan tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi daripada mengikuti perintah-perintah Rasulullah n, perbuatan-perbuatan dan akhlak beliau, serta beradab dengan adab-adab beliau, baik dalam berucap, berbuat, niat maupun i’tiqad.” (Diriwayatkan oleh Abu Nua’im dalam Al-Hilyah, 10/302)

Mengimani Segala yang Diberitakan Rasulullah n Merupakan Syarat Syahadat Muhammad Rasulullah
Membenarkan segala perkara gaib yang beliau beritakan, baik yang telah terjadi atau belum, masuk akal atau tidak, adalah wajib dan merupakan implementasi dari makna syahadat Muhammad Rasulullah sekaligus sebagai syaratnya.
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat syahadat Muhammadurrasulullah di dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya dalam kitab ‘Aqidah At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan (hal. 57) dan Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani  (hal. 38-38). Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
Pertama: Meyakini kebenaran risalah yang beliau n bawa.
Kedua: Mengucapkan dengan lisan terhadap apa yang diyakininya.
Dalil dua syarat ini, adalah firman Allah l:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta dia tidak ragu-ragu.” (Al-Hujurat: 15)
Ketiga: Mengikuti beliau dengan cara mengamalkan kebenaran yang beliau n bawa dan meninggalkan segala kebatilan yang  beliau n larang.
“Katakan: Jika kalian benar-benar cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Keempat: Membenarkan segala yang beliau beritakan, baik berbentuk perintah, larangan, maupun perkara gaib yang telah lalu atau yang akan datang, dan lainnya.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
“Tidakkah kalian memercayaiku? Sedangkan aku adalah kepercayaan (Dzat) yang ada di langit. Berita dari langit datang kepadaku pagi dan petang.” (HR. Al-Bukhari no. 4904 dan Muslim no. 1043 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)
Kelima: Mencintai beliau lebih dari kecintaan terhadap diri, harta, kedua orangtua, anak, dan manusia seluruhnya.
“Tidak dikatakan sempurna iman setiap orang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan manusia seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44 dari Anas bin Malik z)
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, salah seorang di antara kalian tidak dikatakan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada bapak dan anaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 14)
Keenam: Mendahulukan segala ucapan beliau daripada ucapan manusia manapun.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Al-Imam Malik t berkata: “Tidak ada seorang pun melainkan ucapannya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali pemilik kuburan ini (yaitu Rasulullah n).”
Ketujuh: Memuliakan beliau, menghormati, mengagungkan segala apa yang beliau bawa dari sisi Allah l –yakni Al-Qur`an dan As-Sunnah– dengan cara mengaplikasikannya dalam hidup dan mencintai keduanya lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri.
“Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan serta menghormatinya, dan agar kalian bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Al-Fath: 8-9)

Berita Gaib dalam Kehidupan Salafus Shalih
Terkadang, orang melihat sebuah tuntunan agama dengan kacamata duniawi. Artinya, apakah syariat ini menguntungkan bagi dirinya atau tidak. Bila ternyata menguntungkan, akan dianggap sesuatu yang besar dan harus diperjuangkan dengan penuh semangat. Namun bila tidak menguntungkan bagi kehidupan dunianya, akan dianggap sesuatu yang ringan dan enteng, sehingga dikesampingkan. Bahkan tidak segan-segan dilemparkan ke belakang punggung mereka, padahal perkaranya besar.
Berbeda halnya dengan para sahabat Rasulullah n dan generasi yang mengikuti langkah mereka. Mereka menganggap bahwa seluruh perkara yang dituntunkan oleh Rasulullah n –baik besar ataupun kecil– adalah bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Karena mereka mengetahui bahwa besar ataupun kecil syariat yang dilakukan, tetap akan mendatangkan cinta, kasih sayang, dan ridha Allah l. Rasulullah n telah menjelaskan kepada mereka:
“Janganlah engkau mencela kebaikan sekecil apapun, sekalipun engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang ceria.” (HR. Muslim no. 4760 dari sahabat Abu Dzar z)
Seluruh kaum muslimin mengimani perkara gaib, bahkan meyakininya sebagai bagian rukun-rukun iman yang enam. Akan tetapi buah beriman kepada hal-hal gaib tidak begitu nampak dalam kehidupan. Berbeda dengan para sahabat Rasulullah n. Mereka beriman kepadanya dan nampak buahnya dalam kehidupan mereka. Di antara buah yang telah mereka petik adalah:
1. Memberi semangat dan dorongan untuk melakukan ketaatan dengan berharap pahala dari sisi Allah l.
2. Takut dari berbuat maksiat dan takut dari sikap ridha terhadap kemaksiatan tersebut, karena takut terhadap adzab Allah l.
3. Sebagai penghibur bagi kehidupan mereka apa yang mereka tidak dapati di dunia karena berharap kenikmatan yang abadi di akhirat kelak.
4. Menjadikan mereka memiliki keistimewaan dalam hidup sehingga istiqamah, lapang dada, kuat iman, kokoh dalam malapetaka yang menimpa mereka, bersabar atas semua musibah, mengharapkan pahala dan ganjaran; dan mereka mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah l adalah lebih baik dan kekal. (Lihat Syarh Ushul Al-Iman hal. 33 dan Asyrathus Sa’ah, hal. 29)
Karena demikian tinggi nilai dari buah keimanan mereka terhadap hari kiamat, sampai-sampai Umar z (semasa menjabat khalifah) berkata dalam ucapan beliau yang masyhur: “Kalau di Irak terdapat keledai terjatuh (karena jalannya yang jelek), aku menyangka Allah l akan meminta pertanggungjawaban kepadaku: ‘Kenapa engkau, wahai Umar, tidak membuatkan jalan untuknya?’.” Dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/53) disebutkan: “Kalau ada seekor kambing mati di pinggir sungai Efrat karena hilang, niscaya aku menyangka Allah l akan meminta tanggung jawab tentangnya pada hari kiamat.”

Hadits Ahad1 adalah Hujjah dalam Masalah Aqidah
Pembahasan ini amat sangat terkait dengan keimanan terhadap berita-berita gaib yang datang melalui lisan Rasulullah n. Karena kebanyakan perkara gaib dijelaskan dengan hadits-hadits ahad, terlebih yang terkait dengan tanda hari kiamat.
Pembahasan ini terkait pula dengan munculnya kelompok dari kaum muslimin yang menentang kebolehan berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam permasalahan aqidah, seperti yang dilakukan oleh ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan yang sefahamdengan mereka dari kalangan orang-orang sekarang ini seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim ‘Utsman, dan lainnya. Juga dari kalangan ulama ahli ushul, seperti yang disebutkan oleh pengarang kitab Syarh Al-Kaukab Al-Munir fi Ushul Al-Fiqh, yaitu Muhammad bin Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hambali.
Mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah. Yang menjadi hujjah adalah dalil-dali yang qath’i baik, dari ayat ataupun dari hadits. Tentu pendapat ini tertolak. Karena sebuah hadits, apabila shahih dari Rasulullah n melalui jalan orang-orang terpercaya yang menyampaikannya kepada kita, maka kita wajib mengimani dan membenarkannya, baik hadits tersebut mutawatir atau ahad, yang menghasilkan ilmu yakin. Ini merupakan madzhab ulama salafush shalih.
Kaidah kelompok yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah bertentangan dengan firman Allah l:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya!’.” (Ali ‘Imran: 32)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Amalan para sahabat dan tabi’in terhadap hadits ahad telah tersebar, tanpa ada pengingkaran sedikitpun. Hal ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima hadits ahad.” (Fathul Bari, 13/234)
Ibnu Abil ‘Izzi v berkata: “Apabila umat telah sepakat menerima hadits ahad, beramal dengannya dan membenarkannya, maka akan memberikan manfaat ilmu yakin menurut mayoritas ulama. Dan ini merupakan salah satu jenis mutawatir dan tidak ada perselisihan di kalangan ulama salaf.” (Syarh ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 355)
Seorang bertanya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i t sebuah permasalahan, lalu beliau menjawab: “Rasulullah n telah memutuskan demikian dan demikian.”
Seseorang lalu berkata kepada Al-Imam Asy-Syafi’i t: “Apakah kamu akan memutuskan dengannya?”
Beliau berkata: “Apakah kamu melihat aku di gereja? Apakah kamu melihat pada pinggangku ada pengikat (yang biasa dipakai oleh pendeta)? Aku katakan kepadamu: ‘Rasulullah n telah memutuskan demikian’, lalu kamu mengatakan: ‘Apakah kamu akan memutuskannya dengannya?’.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 2/350)
Al-Imam Asy-Syafi’i t juga berkata: “Maka kapan saja aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah n yang shahih lalu aku tidak mengambilnya, aku persaksikan kepada kalian bahwa akalku telah hilang.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq, 2/350)
Dalam ucapan ini, Al-Imam Asy-Syafi’i t tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, dan tidak membedakan dalam permasalahan aqidah atau amaliah lahiriah. Karena yang menjadi patokan adalah hadits tersebut shahih atau tidak.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Segala hal yang datang dari Rasulullah n dengan sanad yang baik maka kita terima. Jika kita tidak menetapkan apa yang dibawa oleh Rasulullah n dan kita menolaknya, niscaya kita telah menolak perintah Allah l. Allah l berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7) [Ithaful Jama’ah, 1/4]
Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “As-Sunnah, apabila shahih, maka kaum muslimin sepakat untuk wajib mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa, 19/85)
Ibnul Qayyim v berkata dalam rangka membantah orang-orang yang menolak berhujjah dengan hadits ahad: “Termasuk dalam masalah ini adalah berita sebagian sahabat kepada sebagian yang lain. Mereka menerima apa yang disampaikan oleh salah seorang dari sahabat yang diterima dari Rasulullah n. Mereka tidak mengatakan kepada para pembawa berita tersebut: ‘Kepada siapa Rasulullah menyampaikannya?’ (Mereka tidak pula mengatakan:) ‘Beritamu seorang diri tidak memberikan ilmu yakin, sampai beritamu mutawatir…’ Bila salah seorang dari mereka meriwayatkan hadits kepada yang lain dari Rasulullah dalam permasalahan sifat (Allah l) mereka menerimanya dan meyakini sifat tersebut dengan penuh keyakinan, sebagaimana meyakini tentang melihat Allah l, Allah l mengajak hamba-Nya berbicara dan memanggil hamba-Nya dengan suara yang bisa didengar dengan orang yang paling jauh sebagaimana didengar orang yang dekat, Allah l turun ke langit dunia pada setiap malam, Allah l tertawa, gembira, memegang langit di atas jari jemarinya dan menetapkan sifat kaki bagi Allah l. Maka bila salah seorang mereka mendengar hadits tersebut yang diterima dari Rasulullah n, atau dari teman yang benar keyakinannya dengan hanya sekedar mendengarnya dari orang yang jujur, sungguh dia tidak akan meragukan beritanya.
Dalil-dalil yang menetapkan keyakinan salafush shalih (pendahulu yang shalih) dari umat ini adalah:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat: 6)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)
Adapun dalil dari As-Sunnah, Rasulullah n mengutus para utusannya kepada raja-raja di berbagai negeri, satu demi satu. Begitu juga gubernur yang diangkat oleh beliau adalah satu orang, dan orang-orang mengembalikan semua urusan mereka kepadanya, baik dalam hukum-hukum atau perkara akidah. Rasulullah n telah mengutus Abu ‘Ubaidah ‘Amir ibnul Jarrah z ke negeri Najran sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari t dalam Kitab Akhbar Ahad bab bolehnya berita seorang yang jujur menjadi hujjah. Rasulullah n juga mengutus Mu’adz bin Jabal z ke negeri Yaman seorang diri, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari. Rasulullah n mengutus pula Dihyah Al-Kalbi z membawa surat Rasulullah n kepada pemimpin Romawi, dan para sahabat lainnya.

Bahaya Menolak Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah
Tidak ada keraguan lagi bagi orang yang berakal bahwa menolak kebolehan hadits ahad menjadi hujjah dalam masalah akidah termasuk penentangan kepada Rasulullah n. Hal ini tentu akan berdampak negatif. Di antara bahaya yang akan timbul dalam penolakan tersebut adalah:
1. Menolak segala hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Rasulullah n di atas seluruh nabi.
2. Menolak adanya syafaat Rasulullah n yang besar (syafa’atul ‘uzhma) pada hari kiamat.
3. Menolak adanya syafaat beliau n terhadap para pelaku dosa besar.
4. Menolak adanya seluruh mukjizat beliau n selain Al-Qur`an.
5. Menolak awal mula penciptaan dan sifat para malaikat, jin, sifat surga dan neraka yang tidak tersebutkan di dalam Al-Qur`an.
6. Menolak adanya pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.
7. Menolak berita disempitkannya kuburan bagi mayit.
8. Menolak adanya Ash-Shirath (jembatan), Al-Haudh (telaga Rasulullah n), dan timbangan yang memiliki dua daun timbangan.
9. Menolak beriman bahwa Allah l telah menulis catatan setiap manusia: bahagia, celaka, rizki dan ajalnya, ketika dia masih dalam kandungan ibunya.
10. Menolak berbagai kekhususan Rasulullah n, sebagaimana yang telah dihimpun oleh Al-Imam As-Suyuthi t dalam kitab beliau Al-Khasha`is Al-Kubra. Seperti masuknya beliau ke dalam surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta apa-apa yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Juga masuk Islamnya qarin Rasulullah n dari kalangan jin.
11. Menolak penetapan adanya 10 orang yang dikabarkan masuk surga.
12. Menolak tidak kekalnya pelaku dosa besar (dari kalangan muslimin yang bertauhid) di dalam neraka.
13. Menolak beriman terhadap berita yang shahih tentang hari kiamat, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an.
14. Menolak beriman terhadap sebagian besar tanda-tanda hari kiamat (yang sebenarnya hadits-haditsnya mutawatir, namun dianggap ahad oleh orang-orang yang tak mengerti ilmu hadits), seperti keluarnya Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa q, keluarnya Dajjal, keluarnya api, terbitnya matahari dari sebelah barat, munculnya binatang, dan selainnya.

Perkara Gaib, Antara Kufur dan Iman
Dari urairan di atas jelaslah bahwa orang-orang yang menentang adanya berita gaib termasuk kufur kepada Allah l dan menentang-Nya serta menentang seluruh rasul. Karena beriman kepada perkara gaib termasuk rukun-rukun iman. Al-Imam Ath-Thahawi t mengatakan: “Mengingkari risalah beliau (n) termasuk celaan terhadap Allah l.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 178)
Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi t menjelaskan: “Tidak akan kokoh fondasi Islam melainkan di atas sikap berserah diri dan menerima. Barangsiapa berusaha menggali ilmu yang dilarang untuk diilmui dan tidak merasa puas dengan menyerahkan pemahamannya, maka keinginannya akan menghalangi dirinya dari kemurnian tauhid, kebersihan ilmu, dan iman yang benar. Sehingga dia menjadi orang yang bimbang antara kufur dan iman, antara membenarkan dan mendustakan, antara menetapkan dan mengingkari. Dia juga akan ternodai oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan dan mendatangkan keragu-raguan. Dia bukan seorang yang beriman dan membenarkan, bukan pula seorang penentang yang mendustakan.”
Kaidah ini telah dijelaskan oleh Allah l di dalam firman-Nya:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177)
Dalam hadits Jibril disebutkan:
Jibril berkata: “Beritahukan kepadaku tentang iman.” Beliau bersabda: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada taqdir yang baik maupun buruk.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah berkata: “Amma ba’du. Ini adalah i’tiqad Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) yang ditolong, sampai hari kiamat. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Yaitu beriman kepada Allah l, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian dan beriman kepada taqdir, baik maupun buruk.”
Wallahu a’lam.

1 Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalur yang belum mencapai tingkat mutawatir. Misal, melalui  jalur satu orang saja.