Minggu, 01 April 2012

IX. Pengucilan dan Boikot Ekonomi terhadap kaum Muslimin ( Hijrah pertama).


IX. Pengucilan dan Boikot Ekonomi terhadap kaum Muslimin ( Hijrah pertama).

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan “.( QS.An-Nahl(16):127)
Maka (apakah) barangkali engkau ( Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini”.(QS.Al-Kahfi(18):6)
“Janganlah sekali-kali engkau ( Muhammad) menujukan pandanganmu kepada keni`matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”.(QS.Al-Hijr(15):88).
Ayat-ayat diatas adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika Rasululllah dalam keadaan duka yang mendalam. 
Rasulullah bersedih karena para pemimpin Quraisy dan penduduk Mekah mendustakannya. 
Namun dengan pertolongan-Nya jualah Rasulullah bisa menahan kesabarannya. 
Waktu demi waktu berlalu. Tak satupun ayat-ayat Al-Quran mampu menggugah hati orang-orang Mekah untuk meninggalkan kesyirikan mereka.  Mereka tetap dalam keraguan yang mendalam.
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.(QS.Al-Baqarah(2):23).
Lima tahun setelah wahyu pertama turun berlalu sudah. Karena penyiksaan tidak juga berkurang, akhirnya Rasulullah mengizinkan sejumlah Muslimin untuk mencari suaka ke Habasyah. Mereka terdiri dari 12 Muslim  dan 4 Muslimah, termasuk diantaranya adalah Ruqayah, putri kedua Rasulullah dan suaminya, Ustman bin Affan. 
Negri di Afrika yang sekarang bernama Ethiopia ini ketika itu berada dibawah pemerintahan seorang raja Nasrani alim yang sangat bijaksana, yaitu Najasyi.
Baru beberapa waktu mereka menetap  di negri tersebut, ketika kemudian mereka mendengar kabar bahwa beberapa orang kuat Quraisy, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib  dan Umar bin Khattab telah memeluk Islam. Maka merekapun berniat kembali ke Mekah. 
Namun ditengah perjalanan mereka terpaksa kembali ke Habasyah karena ternyata ke-Islaman dua tokoh tersebut malah makin membuat orang Quraisy memperkuat tekanan terhadap orang-orang Islam. 
Mereka bahkan mengirim beberapa wakilnya untuk pergi ke Habasyah dan meminta secara langsung kepada raja Najasyi agar mengembalikan orang-orang Islam yang meminta suaka kepadanya.
Namun bagaimana tanggapan raja tersebut? Najasyi malah menangis terharu ketika mendengar Ja’far bin Abu Thalib, salah seorang Muslim yang ikut hijrah, membacakan surat Maryam.
“ Kaaf Haa Yaa `Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala ia berdo`a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut” ….. …. …. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi belah dan gunung-gunung runtuh karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba “… hingga akhir surat.
“ Aku tidak akan menyerahkan  orang-orang yang mencari kebenaran ini kepada kalian. Mereka adalah orang yang benar. Demikian pula nabimu”, demikian jawaban Najasyi. Menurut  beberapa sumber Najasyi bahkan bersumpah akan mengakui Islam dan ajarannya bila ia sempat bertemu Rasulullah.
Habis sudah kesabaran para pembesar Quraisy. Betapa kesalnya mereka menghadapi kenyataan ini. Sejumlah riwayat mengatakan bahwa para pemuka Quraisy berkumpul dan sepakat bahwa Muhammad harus dibunuh. Keputusan ini disampaikan kepada bani Hasyim dan bani Abdul Muthalib. 
Namun mereka menolak menyerahkan anggota keluarganya ini. 
Selama Abu Thalib masih hidup tak mungkin mereka berani mengganggu apalagi membunuh ponakan yang amat disayanginya itu. 
Akhirnya mereka bersepakat bahwa jalan satu-satunya yang memungkinkan hanyalah memboikot kehidupan Muhammad dan seluruh keluarga yang mendukungnya hingga Muhammad diserahkan.
Selama tiga tahun keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib diasingkan dan dikucilkan dari pergaulan dan perekonomian. 
Suku Quraisy yang terdiri atas beberapa bani ini dilarang mengadakan jual beli dengan kedua keluarga bani tersebut. 
Tidak boleh ada perdamaian, belas kasih, pertemanan, persahabatan apalagi perkawinan dengan anggota Bani Hasyim maupun Bani Muthalib.
Mereka dipaksa hidup di pemukiman ( syi’ib) bani Muthalib tanpa bisa keluar. 
Ditempat inilah berkumpul semua anggota bani Hasyim dan bani Abu Muthalib, baik yang telah memeluk Islam maupun yang masih kafir, kecuali Abu Lahab. Bagi yang masih kafir, mereka bertahan karena dorongan semangat fanatisme kekabilahan. Ini adalah sesuatu yang khas telah dimiliki masyarakat Arab sejak dulu.
Sejumlah riwayat menceritakan bahwa selama tiga tahun itu mereka beberapa kali terpaksa makan dedaunan karena kekurangan makanan. Begitu pula keluarga Rasulullah termasuk Fatimah yang ketika itu baru berusia sebelas tahun-an. Tangis kelaparan anak-anak sering terdengar hingga ke luar kota Mekah.
Hingga suatu ketika pada awal tahun ke tiga pemboikotan, bani Qushayyi mulai mengecam perbuatan biadab tersebut. 
Sementara itu Rasulllah mengatakan pada Abu Thalib bahwa surat perjanjian yang ditanda tangani para pemuka Quraisy dan ditempel di salah satu dinding Ka’bah itu telah dimakan rayap kecuali beberapa kalimat yang menyebutkan kata Allah.
“ Apakah Tuhanmu yang memberitahukan itu kepadamu?”, tanya Abu Thalib heran. “ Ya”, jawab Rasulullah singkat. “ Allah telah mengirim sejumlah anai-anai untuk menghancurkannya”. Maka Abu Thalibpun segera pergi menemui  para pemuka Quraisy dan menyatakan bahwa pemboikotan telah usai karena surat perjanjiannya telah rusak. Dengan terheran-heran mereka terpaksa menerima kenyataan yang berada di luar perkiraan mereka tersebut.
Tak lama setelah itu,sejarah mencatat bahwa sekitar tiga puluh orang dari kaum Nasrani Habasyah datang menemui Rasulullah untuk mengetahui Islam lebih jauh. 
Mereka datang bersama Ja’far bin Abu Thalib yang telah membuat raja Najasyi menangis ketika mendengar ayat-ayat Al-Quran dibacakan kepadanya.
Setelah bertemu dengan Rasulullah, berbincang dan mendengar ayat-ayat Al-Quran merekapun segera beriman. 
Abu Jahal yang mengetahui hal tersebut langsung bersungut-sungut.
 “ Kami belum pernah melihat utusan yang paling bodoh kecuali kalian. Kalian diutus oleh kaum kalian untuk menyelidiki orang ini. Tetapi belum sempat kalian duduk dengan tenang di hadapannya, kalian sudah melepaskan agama kalian dan membenarkan apa yang diucapkannya”.
Mereka menjawab : “ Semoga keselamatan atasmu. Kami tidak mau  bertindak bodoh seperti kamu. Biarlah kami mengikuti pendirian kami dan kamupun bebas mengikuti pendirianmu. Kami tidak ingin kehilangan kesempatan yang baik ini”.
Berkaitan dengan itu maka Allah berfirman :
“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al Kitab sebelum Al Qur’an, mereka beriman (pula) dengan Al Qur’an itu. Dan apabila dibacakan (Al Qur’an itu) kepada mereka, mereka berkata: “Kami beriman kepadanya; sesungguhnya; Al Qur’an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan Kami, sesungguhnya Kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan (nya). Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan. Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”.(QS. Al-Qashah(28):52-55).
( Bersambung)
Wallahu’alam bish shawab.