Minggu, 01 April 2012

IV. Masa remaja Muhammad saw.


IV. Masa remaja Muhammad saw.

Usai pemakaman Aminah, ummu Aiman segera membawa Muhammad kecil ke rumah kakeknya, Abdul Mutthalib di Mekkah. Dengan senang hati sang kakek menerima cucu yang telah yatim piatu itu. Dalam waktu singkat Muhammad dapat melupakan kesedihannya karena kehilangan ibunda tercinta. Kakeknya mencintainya dengan sangat tulus.
Namun hal ini tidak berlangsung lama. Karena dua tahun kemudian Abdul Mutthalib juga wafat. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Sementara itu Muhammad berusia 8 tahun. Beruntung menjelang ajalnya, Abdul Mutthalib masih sempat memikirkan masa depan cucu yang amat disayanginya itu. Ia mengumpulkan ke sembilan anaknya dan berpesan agar mereka sungguh-sungguh memperhatikan nasib Muhammad. Ia berwasiat agar cucu kesayangannya itu di pelihara oleh Abu Thalib, salah satu putranya.
Abu Thalib bukan anak sulung dan juga bukan anak yang terkaya. Anak sulung Abdul Mutthalib adalah Al-Harits. Sedangkan  yang paling mampu adalah Al-‘Abbas. Namun demikian Abu Thalib adalah yang paling dihormati masyarakat Mekkah. Ia seorang yang adil dan amanah. Disamping itu, Abdul Mutthalib juga tahu bahwa putranya ini, seperti dirinya, juga amat menyayangi Muhammad.
Abdul Mutthalib tidak salah. Abu Thalib bahkan menyayangi Muhammad lebih dari anak-anaknya sendiri. Demikian pula istri Abu Thalib, Fatimah binti Asad dan anak-anaknya. Muhammad adalah anak yang menyenangkan. Remaja belia ini tidak berdiam diri melihat keadaan pamannya yang hidup dalam keadaan kekurangan. Bersama saudara-saudara barunya Muhammad membantu mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakannya. Termasuk juga menggembalakan kambing seperti ketika beliau tinggal bersama keluarga susuannya beberapa tahun yang lalu.
Semenjak kecil orang mengenang Muhammad sebagai anak yang berakhlak mulia. Manis budi bahasanya, jujur, senang membantu orang yang dalam kesusahan dan senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak baik.
Ibnu Ishaq mengetengahkan sebuah riwayat yang diterimanya dari Muhammad bin  Al-Hanafiyah dan berasal dari ayahnya, Ali bin Abu Thalib,  bahwa Rasulullah pernah bercerita :
“  Aku tidak pernah tertarik oleh perbuatan yang lazim dilakukan orang-orang jahiliyah kecuali dua kali. Namun dua kali itu Allah menjaga dan melindungi diriku. Ketika aku masih bekerja sebagai penggembala kambing bersama kawan-kawanku, pada suatu malam kukatakan kepada seorang dari mereka : “ Awasilah kambing gembalaanku ini, aku hendak masuk ke kota (Mekah) untuk bergadang seperti yang biasa dilakukan oleh kaum pemuda”. Setibaku di Mekah kudengar bunyi rebana dan seruling dari sebuah rumah yang mengadakan pesta.  Ketika kutanyakan kepada seorang di dekat rumah itu, ia menjawab bahwa itu pesta perkawinan si Fulan dengan si Fulannah. Aku lalu duduk hendak mendengarkan tetapi kemudian Allah swt membuatku tertidur hingga tidak mendengar apa-apa. Demi Allah aku baru terbangun dari tidurku setelah disengat panas matahari. Peristiwa ini terulang lagi keesokan harinya. Demi Allah sejak itu aku tidak pernah mengulang hal-hal seperti itu lagi”.
Suatu hari di usianya yang ke 12, pamannya mengajak bepergian ke  negri Syam bersama rombongan kafilahnya.  Ketika rombongan tiba di sebuah dusun di Bushra, seorang pendeta Nasrani bernama Bukhairah melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad. Ia memperhatikan adanya sederetan awan yang senantiasa menaungi rombongan dimana Muhammad berada kemanapun mereka pergi.  Didasari rasa penasaran maka iapun mengundang rombongan tersebut untuk mampir ke kediamannya.
Bukhairah yang dikenal sebagai pendeta yang memahami benar ajarab Nasrani inipun mengajukan berbagai pertanyaan seputar kehidupan Muhammad muda. Setelah yakin bahwa semua jawaban cocok dengan apa yang dikatakan kitabnya, iapun berujar kepada Abu Thalib :
“ Bawalah anak saudara anda itu segera pulang dan hati-hatilah terhadap orang-orang Yahudi. Kalau mereka tahu dan mengenal siapa sebenarnya anak itu mereka pasti akan berbuat jahat terhadap dirinya. Anak itu kelak akan menjadi orang besar, cepatlah ajak dia pulang!”.
“ Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui”.(QS.Al-Baqarah(2):146).
Adalah kebiasaan orang-orang Arab jahiliyah sejak lama untuk berkumpul di pasar-pasar sekitar kota Mekah, seperti ‘Ukadz, Majannah dan Dzul Majaz. Ini adalah tempat dimana para penyair berlomba memamerkan kebolehannya menggubah syair sekaligus mendeklamasikannya. Biasanya pada bulan-bulan suci tempat ini mencapai puncak keramaian.
Orang-orang Arab mempercayai bahwasanya bulan Dzulqi’dah, Dzulhijah, Rajab dan Muharam adalah bulan-bulan suci yang tidak boleh dinodai oleh segala bentuk kejahatan dan kemaksiatan. Jadi selama 4 bulan tersebut perang antar kabilah yang biasa terjadi harus dihentikan. Ke empat bulan tersebut dinamakan sebagai bulan-bulan hurum. Bentuk jamak dari kata haram.
Selama bulan-bulan yang sangat dihormati oleh semua orang Arab, termasuk pemeluk Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala, mereka bebas melantunkan syair-syair mengenai pendapat dan  kepercayaan masing-masing. Mereka berlomba memperdengarkan dan memamerkan kehebatan nenek moyang mereka dengan ketinggian mutu bahasa dan kefasihan mereka mendeklamasikan syair-syair baik yang bersifat romantik maupun heroik.
Dari penyair-penyair Nasrani dan Yahudi inilah orang-orang Arab tahu akan bakal datangnya nabi baru. Dengan nada mengancam mereka sering berkata :
“ Tidak lama lagi akan datang seorang nabi. Kamilah yang akan mengikutinya dan bersama dia kami akan memerangi kalian hingga kalian mengalami kehancuran seperti yang dialami kaum ‘Aad dan Iram dahulu kala”.
Maka sejak pertemuannya dengan pendeta Bukhairah itu, Abu Thalib menjadi lebih lagi menyayangi ponakannnya. Ia selalu berhati-hati, menjaga dan mengawasinya dengan baik. Bahkan tak lama setelah itu Abu Thalib dikabarkan tidak pernah lagi berpergian jauh demi  menjalankan perdagangannya. Ia memilih hidup sederhana mengasuh sendiri anak-anaknya yang cukup banyak itu. Selama itu pulalah Muhammad hidup di tengah keluarga Abu Thalib dan diperlakukan bagai anak sendiri.
Hingga tiba suatu saat ketika Muhammad mencapai usia 25 tahun, seorang utusan datang menemuinya. Utusan ini meminta agar Muhammad bersedia ikut dalam kafilah dagang milik Khadijah ke negri Syam. Khadijah binti Khuwailid adalah seorang saudagar perempuan yang kaya raya lagi mulia dan terhormat. Ia biasa mempekerjakan sejumlah lelaki Quraisy untuk membawa barang dagangannya ke Syam dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Ia mendengar kabar bahwa Muhammad berkeinginan untuk ikut dalam rombongan dagangnya. Sementara itu Khadijah juga pernah diberi tahu bahwa Muhammad adalah seorang pemuda yang jujur, halus budi bahasanya serta berakhlak mulia. Hal yang teramat jarang dijumpai di kota Mekah ini. Itu sebabnya tanpa ragu ia menawarkan keuntungan dua kali lipat dari orang lain bila Muhammad bersedia menerima tawarannya.
Kebetulan Abu Thalib memang sedang dalam kesulitan keuangan. Sebagai anak yang tahu diri Muhammad segera meminta izin pamannya agar diperbolehkan menerima tawaran berharga tersebut. Walaupun dengan berat hati akhirnya Abu Thalib menyetujui permintaan Muhammad. Ia sebenarnya masih merasa khawatir akan keselamatan ponakannya itu sekalipun Muhammad telah dewasa.
Maka dengan membawa berbagai macam dagangan, berangkatlah Muhammad bersama rombongan kafilah dagang Khadijah menuju negri Syam. Disitulah Muhammad membuktikan kepiawaiannya berdagang. Ia menjual barang dagangan yang dibawanya dari Mekah dan membeli barang dagang lainnya untuk dibawa kembali ke Mekah. Dengan kejujuran dan kesantunannya ia bahkan berhasil menarik keuntungan jauh lebih besar dari pada orang lain yang pernah diutus Khadijah.
Semua ini  tidak lepas dari pengawasan dan pandangan kagum Maisarah, pembantu setia Khadijah yang ikut dalam rombongan tersebut. Ialah yang dengan semangat menceritakan apa yang dilihatnya itu kepada majikannya begitu rombongan kembali. Hingga membuat Khadijah bertambah kagum kepada Muhammad, pemuda yang tanpa disadarinya ternyata telah ditakdirkan-Nya  bakal menjadi pendamping hidup terakhirnya.
( Bersambung)