Sabtu, 19 Mei 2012

Meraba hati


Dalam pengembaraan  menyelami apa sebenarnya yang tersirat dalam hati, kita sering terjebak oleh doktrin mimpi dari olah khayalan dan keinginan yang tak pasti.  Membanding-bandingkan kebahagiaan, merasa terdholimi dengan sebuah keadaan seolah kita lah orang yang paling berduka hidup didunia.
Mungkin pikiran kita terlalu sempit untuk menerjemahkan bahasa hikmah yang Allah ingin sampaikan, bahwa manghadapi  sesuatu itu haruslah dengan ilmu. Sedang ilmu Allah itu tiada batas,  Allah bisa saja memberikan pelajaran hidup yang amat berharga melalui media yang remeh-temeh dalam pandangan manusia yang tidak pernah kita sangka sebelumnya.
Belum lama ini saya silaturrahim kerumah seorang sahabat, dari panjang lebar obrolan ada satu pelajaran hikmah yang membuat saya sangat terkesan. Suatu saat dia (sahabat saya) bertemu dengan orang yang hidupnya sangatlah sederhana dan mungkin banyak yang menganggap remeh dengan kesehariannya sebagai pencari rumput.
“pak, hal apa yang bisa membuat bapak itu bahagia?” Tanya sahabat saya,
Dengan enteng bapak tadi menjawab, “ kae lho, ijo-ijo neng ngarep omahmu.. (itu lho rumput hijau didepan rumahmu)”  sembari terkekeh ringan.
“memang tidak ada keinginan yang lain? Punya kendaraan atau apa gitu?” sahabatku melanjutkan pertanyaan yang hanya dijawab dengan senyum ringan si Bapak.
Dalam hati saya hanya bisa berkata, “subhanallah.. sesederhana itu kah orang bisa mendapat kebahagiaan..”? hingga  saya malu pada diri sendiri.
Saudaraku………
inilah salah satu contoh ilmu hikmah yang Allah sampaikan kepada kita. Sebagaimana dalam firmanNya:

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

“Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S Yusuf : 22)
Kadang saat Allah menguji dengan meletakkan sebuah rasa yang dilematis ataupun  lainnya, jangankan seoarang awam (biasa) bahkan orang yang sudah berpredikat sebagai  ahlut-tausyiyah pun hatinya bisa bungkam karena tidak mampu menyelesaikan “apa sebenarnya yang harus dilakukan, dalam situasi yang seperti ini?”, karena  pada kenyataan saat kita dihadapkan pada sebuah ujian, ternyata tidak semanis untaian kata hikmah  yang biasa dibaca untuk dipraktekkan. Hingga cemas, seolah menjadi menu wajib untuk kosumsi hati.

Apakah ada yang salah dengan sifat cemas?

Tentu saja tidak. Semua tergantung dari rasa ‘cemas’ itu timbulnya dari perasaan yang seperti apa?  Karena cemasnya seorang mukmin amatlah beda dengan cemasnya orang yang belum sampai pada tingkatan mukmin (alias islamnya masih dalam kadar mengucapkan dua kalimah syahadat saja) atau belum menyentuh pada hakikat, orang yang tunduk patuh dan menyerah kepada perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُم

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. . .” (QS. Al-Hujurat: 14)
Kemudian,   “sudah mukmin kah kita?” karena cemasnya orang mukmin,  seperti yang sudah di sampaikan Sayyidina Utsman bin Affan Rodliyallohu ‘anhu  adalah,
Pertama, cemas (takut kepada Allah), khawatir jikalau sewaktu-waktu Allah mencabut kenikmatan iman.
Kedua,  cemas akan malaikat hafadhah (pencatat), takut mereka mencantumkan amal yang dapat mempermalukan diri pada hari kiamat.
Ketiga, cemas akan setan, takut seandainya ulah mereka menjadi sebab terhapusnya segala amal kebaikan diri.
Keempat,  cemas akan malaikat maut, takut tiba-tiba nyawa dicabut, sedang diri tengah lengah atau lupa.
Kelima,  cemas akan gemerlap dunia, takut diri terbujuk, terpukau, sehingga lupa kehidupan akhirat.
Keenam,  cemas akan keluarga, takut terlalu disibukkan oleh mereka, sehingga lupa dari mengingat Allah ‘azza wa jalla. (dikutip dari: Nasha-ihul ‘Ibad – Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-’Asqalani)

Meraba hati

Cemas (takut kepada Allah), khawatir jikalau sewaktu-waktu Allah mencabut kenikmatan iman.
Pernahkah kita merasakan kecemasan mengenai hal ini? Karena mungkin sebagian besar kecemasan kita adalah jika Allah mencabut harta yang kita punya, kita sering cemas jika kenikmatan dunia yang sudah Allah berikan didunia ini Dia cabut, hingga kita sering lalai atas kenikmatan yang paling utama dibanding kenikmatan lainnya yakni nikmat iman.
Cemas akan malaikat hafadhah (pencatat), takut mereka mencantumkan amal yang dapat mempermalukan diri pada hari kiamat.
Mungkin kata-kata diatas jarang terlintas di benak kita, karena terlalu kita sibuk menutupi aib dosa demi menjaga nama baik kita dihadapan mahlukNya.
Cemas akan setan, takut seandainya ulah mereka menjadi sebab terhapusnya segala amal kebaikan diri.
Karena setan tidak akan pernah berhenti mengajak manusia menjadi sekutunya, sekecil apaun peluang yang setan dapatkan hingga ibaratnya keihlasan ibadah yang hampir sampai pada Allah bisa dia (setan) porak porandakan. Hanya dengan satu bisikan “fulan berbahagialah karena kamu termasuk ‘mukhlisin’ dan aku tidak mampu menggodamu” sementara hati kita merasa bangga dengan ucapan tersebut.
Cemas akan malaikat maut, takut tiba-tiba nyawa dicabut, sedang diri tengah lengah atau lupa.
Dalam sebuah hadits, “Perbanyaklah menyebut pelebur kenikmatan, yaitu : mati.” (Riwayat Tirmidzi dan Nasa’i, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). Inilah rasa kecemasan yang membuat seorang muslim  akan selalu ingat dengan Penciptanya, karena ia sadar bahwa  nafsu buasnya akan kemegahan dunia seketika  tidak akan ada artinya bila nyawa sudah terlepas dari raga.
Artinya, cemas akan datangnya kematian mampu memberikan motivasi agar tidak terbuai nikmat duniawi hingga melupakan kehidupan ukhrowi (akhirat). Hingga tidak pernah mengambil pusing berbagai ujian dunia, toh pada ahirnya tidak akan pernah ada harganya bila kematian menjemput ia dalam keadaan melalaikan Tuhannya.
Cemas akan gemerlap dunia, takut diri terbujuk, terpukau, sehingga lupa kehidupan akhirat.
Saudaraku, inilah salah satu fitnah terbesar kita hidup didunia. Seolah kita tidak pernah lelah memburu dunia, rasa dahaga yang tidak pernah puas akan materi kerap membuat kita tertipu akan aturan syar’I bagaimana seharusnya rizki itu dicari. Kita terpesona bahkan tunduk melihat pangkat jabatan didunia sehingga menghalalkan berbagai cara, kita terlalu berambisi dengan pengakuan bahwa kita ‘layaknya seorang yang harus dihormati’. Bujuk rayu dunia akan senantiasa akrab dengan siapa saja, dari tampuk pemerintahan sipil bahkan predikat ustadz atau ulama sekalipun.
Hingga kecemasan akan hal diatas patutlah dimiliki oleh insan yang bergelar seorang ‘mukminin’ , karena dirinya  tidak pernah merasa selamat akan tipu daya dunia.
Cemas akan keluarga, takut terlalu disibukkan oleh mereka, sehingga lupa dari mengingat Allah.
Saya teringat sebuah kisah shalafush-shalih akan hal ini, saat kehidupan keluarganya belum di karuniai seorang anak, sang suami amat begitu taat beribadah hingga bisa dikatakan dia sudah mampu mencapai tingkatan “orang yang mencintai Allah”, hingga Allah mengujinya dengan memberinya seorang puteri kecil nan cantik. Namun sayang, semenjak kehadiran buah hatinya kecintaannya kepada Allah semakin berkurang karena saking cintanya kepada sang puteri.
Hingga Allah menegurya melalui mimpi, dimimpinya orang tadi sudah memasuki syurga dan menempati sebuah istana megah namun sayang istana itu agak cacat, karena yang semestinya ada berlian yang menghiasi di atas kubahnya ternyata kosong, hingga ia pun bertanya keada Allah, “wahai Allah dimanakah berliannya..”, Allah menjawab, dulu sewaktu kamu didunia sebelum Ku anugerahi seorang puteri diriimu amat mencintaiku, tapi setelah AKu memberimu seorang puteri rasa cintamu berkurang, itulah sebabnya kenapa berlian itu kosong”, hingga akhirnya orang shalih tadi pun terbangun dan mengucapkan istighfar, bersamaan dengan itu terdengar kabar bahwa puterinya sudah meninggal dunia. (hanya Allah yang tahu akan kebenaran cerita ini)
Kisah diatas merupakan satu contoh, bahwa  merasa hawatir kalau kecintaannya kepada keluarga  lebih besar dari pada  cintanya kepada Tuhannya.