Shalahuddin Mengembalikan Wilayahnya ke Pangkuan Khilafah
Kekuasaan Bani Fathimiyyah memang telah tercatat dalam sejarah tetapi kekuasaan itu tidak pernah diakui oleh kaum Muslim, khususnya para ulama ahli sejarah, seperti as-Suyuthi, sebagai negara yang sah. Selain karena akidah reinkarnasi danmanunggaling gusti ing kawuloyang sesat, juga kejahatannya di masa lalu. Mereka, misalnya, tercatat pernah membantu kaum Salibis untuk menguasai Yerusalem pada tahun 1099 M. Bukan hanya itu, mereka juga pernah mencuri Hajar Aswad dari Ka'bah al-Musyarrafah.
Setelah Shalahuddin berkuasa dan melakukan pembersihan paham ini dari negara, yang diikuti oleh rakyatnya, di depan mata masih ada agenda besar yang menanti Shalahuddin. Pertama, kenyataan bahwa wilayah Mesir dan sekitarnya telah terpisah dari Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Kedua, bercokolnya kaum Salibis di beberapa wilayah kaum Muslim. Ketiga, lemahnya pertahanan negara dalam menghadapi ancaman musuh-musuh dari luar.
Karena itu, pada tahun 1171 M, pemimpin agung, Shalahuddin al-Ayyubi, itu pun melakukan langkah besar. Ia mengintegrasikan wilayah yang berada di bawah kekuasaannya yaitu Mesir dan sekitarnya dengan Khilafah Abbasiyah yang ketika itu masih berpusat di Baghdad. Langkah ini terjadi setelah ia memberikan baiatnya kepada Khalifah Abbasiyah, al-Mustadhi Bi Amrillah, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sayyidina al-Hasan kepada Muawiyah, pada 'Am al-Jama'ah (tahun rekonsiliasi). Setelah peristiwa itu, maka secara resmi seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan Shalahuddin, yang semula terpisah dari induknya telah kembali menyatu kembali dalam satu naungan Negara Khilafah.
Setelah peristiwa itu, Shalahuddin melanjutkan agenda berikutnya yaitu membangun benteng pertahanan Mesir untuk melindungi wilayah ini dari serangan musuh. Peristiwa ini dilakukan Shalahuddin pada tahun 1177 M atau tepatnya 6 tahun setelah diintegrasikannya Mesir dan sekitarnya dengan Khilafah Abbasiyah. Ini bukan agendanya yang terakhir, karena setelah peristiwa ini, atas restu Khalifah, ia kemudian menyusun kekuatan untuk melakukan perang besar guna mengusir kaum Salibis dari Yerusalem dan Suriah serta mengembalikan wilayah tersebut ke pangkuan Islam.
Tepat, pada Jumat, 4 Rabiul Akhir 583 H/1187 M, atau sepuluh tahun kemudian, ketika semua pertahanan dan persiapan yang dibutuhkan telah siap, maka Shalahuddin mengumumkan perang besar melawan mereka, yang dikenal dengan Perang Hittin. Shalahuddin sengaja memilih memulai peperangan pada hari Jumat karena mengharap berkah dari doa kaum Muslim yang melaksanakan shalat Jumat, serta memanfaatkan khutbah Jumat sebagai momentum untuk menggelorakan semangat mereka.
Allah pun memberi kemenangan agung dalam peperangan tersebut. Penulis kitab, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah menyatakan, ini merupakan kemenangan agung yang disaksikan oleh para ulama, pasukan perang dan ahli zuhud. Suara pun bergemuruh membelah langit, dipenuhi dengan doa, tahlil dan takbir. Pada hari Jumat, al-Quds di Yerusalem dibersihkan, salib-salib yang digantungkan di atas kubah Shakhra' disingkirkan; salibnya waktu itu berukuran raksasa. Itulah momentum di mana Allah memberikan kemenangan kepada Islam melalui tangan Shalahuddin.
Setelah Shalahuddin berkuasa dan melakukan pembersihan paham ini dari negara, yang diikuti oleh rakyatnya, di depan mata masih ada agenda besar yang menanti Shalahuddin. Pertama, kenyataan bahwa wilayah Mesir dan sekitarnya telah terpisah dari Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Kedua, bercokolnya kaum Salibis di beberapa wilayah kaum Muslim. Ketiga, lemahnya pertahanan negara dalam menghadapi ancaman musuh-musuh dari luar.
Karena itu, pada tahun 1171 M, pemimpin agung, Shalahuddin al-Ayyubi, itu pun melakukan langkah besar. Ia mengintegrasikan wilayah yang berada di bawah kekuasaannya yaitu Mesir dan sekitarnya dengan Khilafah Abbasiyah yang ketika itu masih berpusat di Baghdad. Langkah ini terjadi setelah ia memberikan baiatnya kepada Khalifah Abbasiyah, al-Mustadhi Bi Amrillah, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sayyidina al-Hasan kepada Muawiyah, pada 'Am al-Jama'ah (tahun rekonsiliasi). Setelah peristiwa itu, maka secara resmi seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan Shalahuddin, yang semula terpisah dari induknya telah kembali menyatu kembali dalam satu naungan Negara Khilafah.
Setelah peristiwa itu, Shalahuddin melanjutkan agenda berikutnya yaitu membangun benteng pertahanan Mesir untuk melindungi wilayah ini dari serangan musuh. Peristiwa ini dilakukan Shalahuddin pada tahun 1177 M atau tepatnya 6 tahun setelah diintegrasikannya Mesir dan sekitarnya dengan Khilafah Abbasiyah. Ini bukan agendanya yang terakhir, karena setelah peristiwa ini, atas restu Khalifah, ia kemudian menyusun kekuatan untuk melakukan perang besar guna mengusir kaum Salibis dari Yerusalem dan Suriah serta mengembalikan wilayah tersebut ke pangkuan Islam.
Tepat, pada Jumat, 4 Rabiul Akhir 583 H/1187 M, atau sepuluh tahun kemudian, ketika semua pertahanan dan persiapan yang dibutuhkan telah siap, maka Shalahuddin mengumumkan perang besar melawan mereka, yang dikenal dengan Perang Hittin. Shalahuddin sengaja memilih memulai peperangan pada hari Jumat karena mengharap berkah dari doa kaum Muslim yang melaksanakan shalat Jumat, serta memanfaatkan khutbah Jumat sebagai momentum untuk menggelorakan semangat mereka.
Allah pun memberi kemenangan agung dalam peperangan tersebut. Penulis kitab, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah menyatakan, ini merupakan kemenangan agung yang disaksikan oleh para ulama, pasukan perang dan ahli zuhud. Suara pun bergemuruh membelah langit, dipenuhi dengan doa, tahlil dan takbir. Pada hari Jumat, al-Quds di Yerusalem dibersihkan, salib-salib yang digantungkan di atas kubah Shakhra' disingkirkan; salibnya waktu itu berukuran raksasa. Itulah momentum di mana Allah memberikan kemenangan kepada Islam melalui tangan Shalahuddin.