Jumat, 30 Maret 2012

Makan untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Makan


Makan untuk Hidup, 

Bukan Hidup untuk Makan...???



Setiap manusia pasti mempunyai tujuan hidupnya masing-masing,dan sudah pasti berbeda-beda.
Manusia saling berlomba untuk selalu memenuhi semua kebutuhan hidupnya itu sudah merupakan hukum alam.
Tapi apakah dalam menjalani hidup, kesuksesan seseorang harus diukur dengan besar kecilnya pendapatan ?
Saya yakin tidak karena kita diciptakan Tuhan disertai akal dan pikiran, itulah kelebihan kita sebagai manusia dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya,oleh sebab itu pendapatan bisa yang besar bukan satu-satunya lambang sebuah kesuksesan,melainkan nilai-nilai positif yang kita ciptakan pada diri dan lingkungan kita itulah tolak ukur sebuah kesuksesan.
Setiap Manusia yang sadar akan tujuan penciptaanya pasti selalu ingin membuat hidupnya lebih bernilai dari hari kehari…
Apakah dalam bekerja semata-mata hanya agar supaya semua kebutuhan hidup kita bisa tercukupi?
Saya menjawab ini sesuai dengan pandangan hidup saya.
Saya merasa saya bekerja bukan hanya agar semua kebutuhan saya tercukupi,tapi bagaimana agar setiap rejeki yang saya peroleh mempunyai nilai positif bagi hidup saya.
Saya Bekerja agar bisa makan dan tetap hidup lebih bermakna, dibandingkan Hidup hanya untuk makan semata-mata,tanpa adanya keseimbangan antara diri dengan lingkungan.
Makan Untuk hidup mencerminkan pribadi seorang yang gigih dalam berjuang.
Sedangkan Hidup Hanya untuk makan melambangkan sifat egoisme dan individualisme yang kaku serta malas dalam berjuang dan bertarung dalam menapaki hidup,


Pertanyaan di atas dilontarkan oleh seorang ustadz saat saya mondok di sebuah pesantren 26 tahun lalu. Saat itu para santri merengek supaya kelasnya segera diakhiri sebab waktu makan siang sudah tiba. Bukannya mengucap salam, sang Ustazd justru bertanya kepada para santri “anda itu hidup untuk makan atau makan untuk hidup?” Ia menasehati santri-sanntrinya jangan sampai manusia hidup itu hanya dihabiskan untuk makan. Masih banyak aktifitas lain yang mesti dilakukan: belajar, bekerja, berkarya, bermasyarakat, dan begitu seterusnya. Kalau dibahas dalam konteks NLP, kira-kira sang Ustadz ingin mengingatkan santrinya bahwa rasa lapar itu berkaitan dengan “state of mind.” Kalau setiap saat yang kita pikirkan hanya makanan, maka rasa lapar mudah menghinggapi diri kita.
Tentang bagaimana semestinya kita menyikapi makanan, Rasulullah pernah bersabda: “makanlah di kala sudah merasa lapar dan berhentilah sebelum kenyang.” Sabda ini mengajarkan pentingnya berbuat bijak pada makanan. Makan secukupnya, tidak berlebihian, sebatas memenuhi asupan gizi dan kebutuhan kalori. Intinya makan sekedar untuk bisa hidup, bukan sebaliknya, hidup untuk makan.
Sayangya, seiring makanan sudah menjadi industri pengepul rupiah melalui bendera wisata kuliner dan iklan makanan bertebaran di mana-mana, tidak sedikit orang yang sulit merasa cukup dan gagal menahan nafsu makannya. Selesai mencoba menu di warung A,  pingin segera mencoba sajian di rumah makan B, kemudian di restoran C, dan begitu seterusnya yang menguatkan sindiran “for human, enough is never enough!” Tanpa sadar, kita termasuk bagian pendukung “ideologi” hidup untuk makan ini dengan aktif memasang status dan gambar makanan yang akan kita santap di FB.  Padahal secara sosial, filosofi hidup untuk makan inilah yang mengantarkan ketimpangan. Di satu pihak, kita saksiakan orang-orang berlebih dengan santai setiap saat bertanya “nanti kita mau makan di mana (?)” sebab bingung menentukan pilihan tempat makan mana yang belum dicoba, namun di pihak lain banyak saudara kita yang masih bertanya “nanti kita mau makan apa (?)” sebab tidak ada yang bisa di makan.
Maka, jangan heran bila bukan sehat yang didapat oleh para pengumbar nafsu makan ini, namun tumpukan lemak yg menimbun di tubuh. Raga tidak lagi menjadi tempat nyaman berdiamnya jiwa, berubah menjadi “tong sampah” berjalan. Obeisitas-pun menjamur dimana-mana.
Bila anda termasuk yang sulit mengendalikan nafsu makan, ada baiknya mengubah state of mind dari “hidup untuk makan” ke “makan untuk hidup”.


HIDUP UNTUK MAKAN ATAU MAKAN UNTUK HIDUP
.....???

Mana yang benar? Makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Mungkin untuk menjaga wibawa atau memang benar-benar pecaya, kebanyakan orang pasti akan mengatakan makan untuk hidup. Kalau aku pribadi, jujur aja philosofi ku pastilah hidup untuk makan. Dan aku benar-benar percaya akan pandangan ini.

Mari kita lihat faktanya. Secara bahasa, yang benar adalah hidup untuk makan bukanlah makan untuk hidup. Kata-kata makan untuk hidup secara sintaksis tidak dapat diperdebatkan keabsahannya. Dalam tingkatan frase, kata-kata ‘makan untuk hidup’ telah memenuhi kaidah bahasa yang walaupun tidak memiliki subjek tapi telah memiliki predikat.

Namun secara semantik, kumpulan kata-kata itu tidak memiliki arti. Karena dalam tatanan semantik, suatu kalimat atau frase harus memiliki pengertian yang memenuhi logika. Sebagai contoh: ‘anak melahirkan ibunya’. Secara sintaksis kata-kata tersebut adalah kalimat diatas memiliki subjek kata ‘anak’, predikat ‘melahirkan’, dan objek kata ‘ibunya’, tapi kalimat diatas tidak memiliki logika bahasa dimana seorang anak tidak mungkin untuk melahirkan ibunya sendiri. Begitu juga dengan kalimat ‘makan untuk hidup’, kalimat ini memiliki pengertian bahwa makan bukanlah pekerjaan yang absolut dimana ada pilihan lain untuk hidup. Sedangkan kita ketahui bahwa tidak ada satupun manusia diatas dunia ini yang mampu untuk bertahan hidup tanpa ada asupan makanan.

Dalam kehidupan nyata, kalimat ‘hidup untuk makan’ juga lebih tepat daripada ‘makan untuk hidup’ walaupun bakalan banyak orang yang menyangkalnya terutama mereka-mereka yang menerapkan’ hidup untuk makan’.

Kata ‘makan’ dalam konteks ini bukan hanya memiliki arti memakan makanan, namun ‘makan’ memliki arti yang lebih luas. Banyak orang yang berlomba-lomba untuk menumpuk kekayaan dengan cara yang halal maupun haram. Banyak juga yang menggadaikan semua yang dimiliki secara moril maupun materiil untuk mendapatkan kekuasaan. Banyak lagi yang melakukan apa saja untuk mendapatkan popularitas. Jadi makan itu bukan hanya untuk memuaskan nafsu lapar kita akan makanan tapi makan juga adalah tindak kelakuan kita untuk memenuhi nafsu yang lain.

Dari masa ke masa, jaman ke jaman, manusia selalu berlomba untuk menguasai segala hal yang dapat dikuasai di dunia ini. Jika manusia tidak dapat menguasai suatu hal langsung dari alam atau mampu menciptakan hal untuk memenuhi nafsunya, maka mereka akan berusaha untuk menguasai hal-hal yang telah dikuasai oleh yang lain. Telah banyak manusia yang menjadi korban untuk memenuhi hawa nafsu yang lain dikarenakan keinginannya untuk makan. Karena keinginan manusia untuk makan inilah maka sejarah manusia selalu dipenuhi dengan pembunuhan dan pemerkosaan.

Karena bangsa Eropa lapar dan dapurnya tidak dapat menghasilkan makanan yang cukup dan lambungnya lebih besar daripada yang lain maka mereka berjalan kebenua lain yang memiliki dapur yang menghasilkan makanan-makanan lezat yang melimpah ruah. Jadilah bangsa Eropa selama ratusan tahun menumpang makan kebangsa lain dengan terkadang lupa untuk dibayar dan meninggalkan sampah yang menumpuk.

Yang terbaru, mungkin rasa lapar akan minyak bumi. Setiap negara yang memiliki hasil bumi yang melimpah adalah dapur dan tong sampah untuk mereka-mereka yang lapar. Sampahnya?! Ketidakamanan karena sang lapar ingin menguasai dapur sehingga tidak perlu makan dengan takaran si koki tapi dapat makan sampai perut melendung. Jadinya si koki dihasut dengan sang istri agar sang lapar bisa makan bebas. Kalau si koki sampai berkelahi dengan sang istri maka sang lapar bisa mengambil pihak dengan imbalan makan gratis dan juga sang lapar bisa menjual alat-alat masak baru karena bakalan ada dapur baru. Jadi dapur yang telah panas, semakin dipanas-panasi agar si koki jadi cerai dengan sang istri.

Asap bakaran dapur juga jadi masalah. Sang lapar marah karena asap dari dapur si koki membuat rumahnya seperti kebakaran. Si koki bingung karena dimana-mana kalau masak pasti ada asapnya. Tapi sang lapar tidak mau tahu karena asap bukan urusannya. Yang menjadi urusannya cuma makanan dari dapur bukan asap dari dapur. Kalau si koki mau dibantu dengan asap maka si koki harus memberi makan gratis.

Jadi sekarang pilih yang mana..??

Pura-pura percaya kalau kita makan untuk hidup atau mau jujur mengakui kalau kita itu hidup untuk makan...!!!