Jumat, 30 Maret 2012

Yang Dilakukan Dalam Menafsirkan Al-Qur’an


Yang Dilakukan Dalam Menafsirkan Al-Qur’an


Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hati nabi Muhammad ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan manuju cahaya Islam.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Ibrahim: 1, yang artinya: “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam sebagai orang yang berhak mejelaskan, menerangkan, dan menafsirkan isi Al-Qur’an. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat An-Nahl: 44, yang artinya: “Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kami menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”.
Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur’an, dan sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasullullah ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasululloh, tetapi semuanya dari wahyu Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’aladalam Al-Qur’an surat An-Najm: 3-4, yang artinya: “Dan tidaklah yang  diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang hampir sama dengan Al-Qur’an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia  berkata, “Berpeganglah kalian kepada Al-Qur’an. Apapun yang dikatakan halal didalam Al-Qur’an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram dalam Al-Qur’an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasululloh, Alloh juga mengharamkannya” (Takhrijul Misykat No. 163)
Berdasarkan hal diatas, cara menafsirkan Al-Qur’an adalah:
Cara Pertama.
Adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa : ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam.
Cara Kedua.Adalah dengan penafsiran para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas RadhiyAllohu ‘anhu. Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang menemani Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur’an serta cara memahaminya dan juga cara menafsirkannya. Sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Dia adalah penerjemah Al-Qur’an”. Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.
Cara Ketiga.Yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsiran dari para tabi’in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid-murid Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, seperti: Sa’ad bin Juba’ir, Thawus. Mujahid, dan lain-lain.
Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra’yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela satu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama ahli tafsir.
Untuk menunjukkan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan dikemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur’an surat Al-Muzammil: 20, yang artinya: “Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an”
Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang sedang berdiri shalat adalah ayat-ayat Al-Qur’an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca Al-Qur’an. (tidak harus  Al-Fatihah -pent-).Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal RasulullohShallAllohu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (surat Al-Fatihah)”  (Shahihul Jaami’ No. 7389)
Dan di hadits lain Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang shalat tidak membaca surat Al-Fatihah maka shalatnya kurang, shalatnya kurang, shalatnya kurang, tidak sempurna”  (Shifatu Shalatain Nabiy hal. 97)
Berdasarkan tafsir diatas, berarti mereka telah menolak dua hadits shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an kecuali dengan hadits yang mutawatir. dengan kata lain  mereka mengatakan, “Tidak boleh menafsirkan yang mutawatir kecuali dengan yang mutawatir pula”. Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra’yu dan madzhab.
Padahal semua ulama tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya sependapat bahwa maksud ‘bacalah’ dalam ayat di atas adalah ‘shalatlah’. Jadi ayat tersebut maksudnya adalah: “Maka shalatlah qiyamul lail (shalat malam) dengan bilangan raka’at yang kalian sanggupi”.
Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut, yang artinya: “Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang besama kamu. Dan Alloh menetapkan ukuran malam dan siang. Alloh mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Alloh ; dan orang-orang  yang lain lagi yang berperang di jalan Alloh, maka bacalah apa yang  mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman kepada Alloh pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Alloh sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca di dalam shalat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk shalat malam dengan jumlah raka’at kurang dari yang dilakukan Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, yaitu sebelas raka’at. Inilah maksud sebenarnya dari ayat tersebut.
Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya “menyebut sebagian” tetapi yang dimaksud adalah “keseluruhan”. Misalnya : Menyebut ‘bacaan Al-Qur’an’ tetapi yang dimaksud adalah shalat karena bacaan Al-Qur’an itu bagian dari shalat. Menyebut kata nafs (=jiwa, nyawa) tetapi yang dimaksud adalah manusia, Menyebut ‘darah’ atau ‘memukul’ padahal yang dimaksud adalah membunuh (-pent-)
Sebagaimana  kita tahu bahwa membaca Al-Qur’an adalah bagian dari shalat. Alloh sering menyebut kata “bacaan/membaca” padahal yang dimaksud adalah shalat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an itu merupakan bagian penting dari shalat. Contohnya adalah dalam surat Al-Isra’: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikanlah pula bacaan fajar”
Dalam ayat ini Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyebut ‘qur’ana al-fajri’. Tapi yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat shubuh). Demikianlah salah satu uslub dalam bahasa Arab.
Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama sholeh terdahulu maupun ulama sholeh kemudian), maka batAlloh pendapat sebagian penganut madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam shalat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an.Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal, yaitu:
  1. Tafsiran ayat di atas (Al-Muzzammil: 20) datang dari para ulama tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa Al-Qur’an.
  2. Tidak mungkin perkataan beliau ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam bertentangan dengan Al-Qur’an. Justru perkataan Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallamitu menafsirkan dan mejelaskan isi Al-Qur’an.
Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam shalatnya. Sama sekali tidak. baik shalat fardhu atau shalat sunat. Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita.
Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah/kitab-kitab hadits yang sanad-sanadnya shahih.
Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata: “Kami tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah  aqidah tidak bisa hanya mengambil berdasarkan hadits-hadits ahad saja”.
Demikian sangkaan mereka. padahal kita tahu bahwa Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam pernah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid (Shahih Bukhari No. 1458, Shahih Muslim No. 19), padahal Mu’adz ketika itu diutus hanya seorang diri (berarti yang disampaikan oleh Mu’adz adalah hadits ahad, padahal yang disampaikan adalah menyangkut masalah aqidah -pent-).
Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala menunjuki kita semua kepada aqidah yang shahih dan mewafatkan kita dalam keadaan muslim. Hanya kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala kita mohon pertolongan. Wallohu a’lam bish showab.
(Sumber Rujukan: Kaifa Yajibu ‘Alaina Annufasirral Qur’anal Karim, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)