Sabtu, 31 Maret 2012

Perdamaian Hudaibiyah dan Baitur Ridwan.


Perdamaian Hudaibiyah dan Baitur Ridwan.


“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. )”.(QS.Al-Fath(48):27).
Berdasarkan mimpi bahwa Rasulullah akan memasuki Masjidil Haram, maka pada suatu hari di bulan Dzulqa’idah tahun ke 6 H, Rasulullah mengumumkan keinginan beliau untuk  menunaikan ibadah umrah. Pengumuman ini langsung disambut antusias oleh sekitar 1400 sahabat Anshar dan Muhajirin.  Dengan mengenakan kain ihram serta membawa sejumlah binatang kurban ( al-hadyu) maka berangkatlah rombongan besar ini menuju Mekah yang ketika itu masih berada dibawah kekuasaan kaum Musryik Quraisy.
Setiba di Dzul Hulaifah, Rasulullah saw mengutus seseorang untuk mengintai keadaan kota Mekah. Rasulullah juga mengutus Ustman bin Affan ra pergi ke kota tersebut untuk mengabarkan kedatangan rombongan kepada kaum Muslimin yang ada di Mekah. Semula Rasulullah menginginkan  Umar bin Khattab ra yang melakukan tugas tersebut. Namun karena Umar mempunyai hubungan yang kurang baik dengan keluarga besarnya akhirnya Ustman yang diutus.
Sementara itu Rasulullah dan rombongan terus berjalan perlahan meneruskan perjalanan. Hingga di suatu tempat utusan pengintai tadi kembali dan melaporkan bahwa orang-orang Quraisy telah menyiapkan bala tentara untuk memerangi dan mencegah kaum Muslimin memasuki Mekah dan thawaf di Baitullah.
“ Bagaimana pendapat kalian”, tanya Rasulullah begitu menerima laporan tersebut.
“ Wahai Rasulullah, engkau keluar untuk maksud ziarah ke Baitullah bukan untuk membunuh atau memerangi seseorang. Berangkatlah terus ! Jika ada orang yang menghalangi, kita akan memeranginya”, jawab Abu Bakar ra.
“ Berangkatlah dengan nama Allah”, sambut Rasulullah.
Lalu Rasulullah dan rombonganpun melanjutkan perjalanan. Namun untuk menghalangi hal-hal yang tidak diinginkan Rasulullah menunjuk salah seorang sahabat yang menguasai jalan pintas yang tidak biasa digunakan umum agar memimpin didepan.
Maka jadilah rombongan ini menyusuri jalan terjal, naik-turun lereng-lereng berbatu tajam. Hingga di suatu tempat di sebuah jalan ke arah Hudaibiyah, unta Rasulullah tiba-tiba berhenti dan tidak mau berjalan. Para sahabat terperanjat. “ Si Qushwa mogok”, seru mereka.
Rasulullah saw menyahut, “ Ia tidak mogok. Ia tidak berwatak demikian. Ia dihentikan oleh Allah swt seperti dahulu Allah menghentikan pasukan gajah. Demi Allah jika mereka memintaku suatu langkah (persyaratan) yang akan menghormati Tanah Haram, pasti akan aku kabulkan”.
Selanjutnya Rasulullah mengarahkan untanya untuk mundur dan berhenti di ujung Hudaibiyah. Para sahabat kemudian turun dan minum serta berwudhu di sebuah parit yang tidak begitu banyak airnya hingga akhirnya kering sama sekali. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa setelah mendengar pengaduan para sahabat bahwa mereka kehabisan air, Rasulullah kemudian menancapkan sebatang anak panah di parit tersebut. Maka tak lama kemudian paritpun terisi air kembali. Para sahabat lalu berebutan menggunakan sumber air tersebut untuk berbagai keperluan.
Dalam suasana demikian inilah tiba-tiba datang seorang utusan Quraisy. Ia menyatakan bahwa pasukan Quraisy sedang dalam perjalanan untuk mengusir Rasulullah dan rombongan. Dengan tenang Rasulullah menjawab, “ Kami datang hanya untuk melaksanakan umrah. Sekalipun orang-orang Quraisy telah memutuskan untuk berperang, tetapi jika mereka suka, aku minta untuk menangguhkannya. Jika mereka enggan, demi Allah, aku siap memerangi mereka sampai orang-orang yang ada di belakangku tinggal sendirian. Dan Allah pasti akan menyelesaikan urusan-Nya”.
Utusan tersebut kemudian kembali ke kaumnya dan melaporkan apa yang dikatakan Rasulullah. Sementara itu Ustman bin Affan yang sebelumnya diutus ke Mekah tidak juga kunjung kembali. Berita yang sampai ke telinga Rasulullah, Ustman telah dibunuh oleh Quraisy !.
Maka Rasulpun bersabda “ Kami tidak akan tinggal diam hingga kami berhasil menumpas kaum Quraisy”.
Kemudian Rasulullah segera mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka berbaiat. Berbait kepada Rasulullah untuk tidak lari meninggalkan medan perang. Baiat ini berlangsung di bawah sebuah pohon dan kemudian dikenal sebagai Baiat Ridwan. Dalam kesempatan itu, Rasulullah mengambil tangan para sahabat satu bersatu sambil berkata : «  Pembai’atan ini untuk Ustman ».
Namun tak berapa lama kemudian ternyata Ustman kembali dalam keadaan aman. Rupanya beberapa orang Quraisy sempat menahannya beberapa hari tetapi kemudian melepaskannya kembali. Betapa leganya Rasulullah mengetahui hal tersebut.
Selanjutnya dengan utusan Quraisy yang melaporkan hasil pertemuannya dengan Rasulullah. Setelah berembug, mereka kembali mengutus seseorang untuk menemui Rasulullah. Di tempat ini, Urwah bin Mas’ud, utusan kedua Quraisy, mendapati betapa para sahabat menghormati sang pimpinan, Rasulullah Muhammad saw.
“ Wahai kaum. Demi Allah, aku pernah menjadi tamu para raja, kaisar, kisra dan najasi. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana penghormatan yang dilakukan oleh para pengikut Muhammad. Sesungguhnya, dia telah menawarkan suatu langkah yang baik buat kalian. Karena itu, terimalah!”, demikian ucap Urwah, melaporkan hasil pertemuannya dengan Rasulullah kepada para pembesar Quraisy.
Langkah selanjutnya, para pemuka Quraisy memutuskan mengutus Suhail bin Amr sebagai wakil mereka untuk membuat perjanjian dengan kaum Muslimin. Sementara Rasulullah menunjuk Ali bin Abu Thalib ra sebagai juri tulis perjanijian yang di kemudian hari dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah ini.
“ Silahkan”, kata Suhail, “ Tuliskan suatu perjanjian antara kami dan kalian”.
“ Tulislah Bismilahir rahmanir rahim”, sabda Rasulullah kepada Ali.
“ Demi Allah, kami tidak tahu apa itu ‘ar-Rahman’. Tulislah Bismikallahumma », tukas Suhail.
« Demi Allah, kami tidak mau menulis kecuali  Bismilahir rahmanir rahim”, kaum Muslimin berkata.
«Tulislah Bismikallahumma. Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah », sabda Rasul lagi.
Mendengar ini Suhail sontak menolak, «  Demi Allah, seandainya kami mengakui bahwa engkau adalah Rasul Allah, niscaya kami tidak menahanmu untuk datang ke Baitullah dan memerangimu. Tulislah Muhammad bin Abdullah ».
Rasul kembali mengalah, «  Demi Allah, aku adalah Rasul Allah sekalipun kalian mendustakanku ! Tulislah Muhammad bin Abdullah ».
Di dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa nabi saw memerintahkan Ali agar menghapuskannya lalu Ali berkata, « Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya». Rasulullah lalu bersabda, «  Tunjukkan kepadaku mana tempatnya ». Ali lalu menunjukkan dan Rasulullahpun menghapusnya sendiri.
Selanjutnya Rasulullah bersabda kepada Suhail, «  Kalian harus membiarkan kami melaksanakan thawaf di Baitullah ». Namun Suhail menjawab, « Demi  Allah supaya orang-orang tidak mengatakan bahwa kami mendapat tekanan dari kalian … engkau boleh thawaf tahun depan namun tidak boleh membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya ».
Selanjutnya utusan Quraisy tersebut juga mensyaratkan bahwa jika ada anggota keluarga Quraisy yang masuk Islam kemudian lari dan meminta perlindungan Madinah, mereka harus dikembalikan kepada kaumnya. Sebaliknya bila ada kaum Muslimin yang lari dari Madinah dan meminta perlindungan Makkah, mereka tidak harus dikembalikan.
«  Subhanallah, bagaimana mungkin seseorang yang telah beriman akan dikembalikan kepada kaum Musyrikin ? », protes para sahabat. «  Apakah kita akan menulis butir ini, wahai Rasulullah ? »
« Ya, sesungguhnya siapa saja diantara kita yang pergi kepada mereka maka semoga Allah menjauhkannya dan barangsiapa diantara mereka datang kepada kita maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya », jawab Rasulullah saw.
Itulah sebagian dari isi perjanjian perdamaian Hudaibiyah. Perjanjian ini berlaku untuk 10 tahun. Selama itu tidak boleh terjadi peperangan antara ke dua belah pihak. Masing-masing pihak boleh memilih dan mempunyai sekutu. Maka suku Khuza’ahpun mengumumkan persekutuannya dengan kaum Muslimin. Sedangkan bani Bakar memilih bersekutu dengan kaum Quraisy.
Bahkan disebutkan ketika kaum Muslimin berthawaf tahun depan nanti, kaum Musyrikin tidak diperbolehkan mengganggu. Mereka akan pergi ke lereng-lereng gunung,menyaksikan dari kejauhan.
Namun demikian, sebagian besar sahabat tetap merasa kecewa terhadap isi perjanjian yang dianggap merendahkan umat Islam yang dirasa mulai menguat itu. Umar bin Khattab ra adalah satu diantaranya.
“ Bukankah engkau Nabi Allah?” tanya Umar.
“ Ya, benar”, jawab Rasul.
“ Bukankah orang-orang kita yang terbunuh akan masuk surga dan orang-orang yang mereka bunuh akan masuk neraka?” tanya Umar lagi.
“ Ya, benar”, jawab Rasul tenang.
«  Lalu, mengapa kita menyetujui agama kita direndahkan ? », tanya Umar bertambah penasaran.
“Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Dia pasti akan membelaku”, jawab Rasul sabar.
«  Bukankah engkau telah menjanjikan bahwa kita akan datang ke Baitullah untuk melakukan thawaf ? », cecar Umar.
« Ya, benar. Tetapi apakah aku mengatakan bahwa engkau akan datang ke sana tahun ini ? Engkau pasti akan datang dan thawaf di Baitullah », tegas Rasul.
Umar tetap bimbang. Maka iapun mendatangi Abu Bakar ra. Namun Abu Bakar menjawab pertanyaan Umar persis seperti apa yang dikatakan Rasulullah.
“ Rasulullah tidak akan menyalahi perintah Rabbnya dan Allahpun tidak akan membiarkannya”,  jawab Abu Bakar.
Tak lama kemudian Rasulullah memanggil Umar dan membacakan ayat yang baru saja diturunkan-Nya.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak)”.(QS.Al-Fath(48):1-3).
Ya, perjanjian Hudaibiyah sebenarnya adalah sebuah kemenangan besar bagi umat Islam. Ini adalah pengakuan pertama Quraisy terhadap keberadaan kaum Muslimin. Allah, Yang Maha Cerdas dan Maha Teliti  yang menuntun Rasulullah agar bertindak demikian. Ini adalah cara Allah mempersiapkan pembukaan pintu Mekah agar Islam dapat masuk tanpa perang ; secara damai dan merasuk ke dalam hati sanubari semua penduduk Mekah yang lama dalam keadaan kesyirikannya.
Di kemudian hari Umar berkata, “ Aku terus berpuasa, shalat, bersedekah dan membebaskan budak ( sebagai karafat) dari apa yang pernah aku lakukan karena takut akan ucapan yang pernah aku lontarkan pada hari itu”.
Namun demikian kekecewaan sebagian besar sahabat yang belum dapat menerima bahwa perjanjiian tersebut sebenarnya adalah kemenangan tetap masih terlihat. Karena ketika Rasulullah memerintahkan agar mereka bercukur dan menyembelih hewan kurban yang mereka bawa sebagai tanda selesainya umrah, tidak mereka indahkan.
Akhirnya Rasulullah, atas usul Ummu Salamah, umirul Mukminin yang ketika itu menyertai Rasulullah,  tanpa banyak kata, langsung bercukur dan menyembelih kurban yang dibawanya. Maka para sahabatpun, tanpa kecuali, langsung mengikuti apa yang diperbuat Rasulullah.
Setahun kemudian yaitu pada bulan Dzulqai’dah tahun ke 7 H, Allah swt memenuhi janji-Nya. Rasulullah beserta 2000 umat Islam memasuki Mekah dan melaksanakan umrah.  Seluruh sahabat yang ikut dalam perjanjian Hudaibiyah tak satupun yang tertinggal kecuali yang wafat dalam perang Khaibar sekembali dari perjanjian tersebut.
” Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang hari ini menyaksikan kekuatan yang datang dari hadirat-Nya”, begitu bunyi doa Rasulullah ketika tawaf sambil mengangkat tangan kanannya.  Kemudian mencium hajar aswad lalu berjalan cepat sambil mengelilingi Ka’bah.
Sebelumnya Rasulullah dan para sahabat memang sempat khawatir bahwa kedatangan mereka kali inipun akan tetap dihalangi orang-orang Quraisy. Namun Allah swt segera menurunkan ayat-ayat yang isinya  mengizinkan Rasulullah memerangi orang-orang tersebut meski di tanah Mekah sekalipun. Karena menghalangi seseorang menjalankan ibadah sama dengan menyebar fitnah.
” Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“.(QS.Al-Baqarah(2):191-192).
Dan atas tekad kuat kaum Muslimin, Allah swt memberikan ridho-Nya hingga Rasulullah dan para sahabat dapat menjalankan ibadah tersebut tanpa hambatan. Tampak bahwa Allah telah memasukkan rasa gentar dan takut kepada orang-orang Quraisy untuk mengganggu kedatangan kaum Muslimin.