Sabtu, 31 Maret 2012

Mengenal kaum Muhajirin dan kaum Anshar


Mengenal kaum Muhajirin dan kaum Anshar

Islam memang sebuah ajaran yang unik. Ajaran yang disampaikan kepada Rasulullah saw sebagai nabi penutup, melalui malaikat Jibril as, ini mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dunia adalah ladang tempat bekerja, beribadah berbuat kebaikan demi mengumpulkan bekal akhirat nanti. Karena akhirat adalah tujuan, yang ujungnya hanya 2 : surga atau neraka. Itu sebabnya, ketika lingkungan tidak memungkinkan kita untuk beribadah, bekerja dan menjalani hidup tenang dibawah aturan yang dikehendaki-Nya maka hijrah adalah solusinya.
Mekah dan Madinah meski sama-sama berada di tanah Saudi dengan jarak sekitar 450 km adalah dua kota yang benar-benar berbeda. Mekah adalah kota yang sangat gersang dan panas. Sebagian besar penduduknya hidup dari berdagang. Sedangkan Madinah adalah kota yang tanahnya subur dan relative lebih dingin dibanding Mekah. Mayoritas penduduknya hidup sebagai petani.
Tentu saja perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik secara ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun kesehatan. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Pada saat yang sama mereka juga harus mencari penghidupan, padahal mereka  tidak memiliki modal. Namun dengan semangat persaudaraan muslim yang baru saja mereka terima semua itu dapat diatasi dengan baik.
Ketika itu Rasulullah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Diantaranya Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid, Umar bin Khattab dengan  Uthbah bin Malik, Utsman bin Affan dengan seorang laki-laki dari bani Zuraiq bin Sa`ad Az-Zuraqi,  Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’adz bin Jabal, Hamzah bin Abdul Muthalib dengan Zaid bin Zuhair, Abdul Rahman bin Auf dengan Sa’id bin Rabi’, Zubair  dengan Ka`ab bin Malik, Abdullah bin Zaid bin Tsa`labah bin Abdi Rabbih dengan Balharits bin Al-Khazraj dll.
Bahkan antara suku Aus dan suku Khazraj, dua suku penduduk Madinah yang sejak lama selalu bermusuhan, sejak datangnya Islam tidak pernah lagi bertikai. Kecuali suatu hari orang-orang Yahudi pernah mengadu-domba mereka hingga hampir saja terjadi pertumpahan darah kalau saja Rasulullah tidak segera mengingatkan bahwa sesama muslim adalah bersaudara.
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (QS.Al-Hujurat (49):10).
Hebatnya lagi, pada awal hijrah ikatan persaudaraan tersebut berlaku hingga ke hukum waris. Namun hal ini tak lama berlangsung karena kemudian turun ayat yang menjelaskan bahwa kerabat lebih berhak mendapatkan waris dari pada yang bukan kerabat ( Muhajirin).
“ … Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)”.(QS.Al-Ahzab(33):6).
Zubair ra berkata:
“Allah Azza wa Jalla, menurunkan ayat khusus tentang kami orang-orang Muhajirin dan Anshar, QS. Al-Anfaal :75, “ … … Orang-orang yang mempunyai hubungan (kerabat) itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.( QS. Al-Anfaal(8) :75).
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: “Ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah seorang Muhajir mewarisi seorang Anshar tanpa adanya hubungan keluarga, karena Ukhuwwah yang telah dijalin oleh Nabi saw ketika turun ayat (artinya) : “Bagi tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya ….“ Terhapuslah hukum tersebut.
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabatKami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”(QS.An-Nisa(4):33).
Dari peristiwa diatas, satu lagi hikmah turunnya ayat-ayat Al-Quran secara bertahap dapat diambil. Karena ternyata ada beberapa ayat yang hanya berlaku pada saat tertentu. Itulah yang disebut ayat-ayat yang di-nasakh dan di-mansukh. Dan ini hanya dapat diketahui bila kita mempelajari Al-Quran bersamaan dengan mempelajari sejarah kehidupan Rasulullah saw ( sirah nabawiyah). Disinilah pentingnya kita mempelajari hadits. Karena ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari itu amatlah erat kaitannya dengan kehidupan Rasulullah. Hanya dengan cara inilah kita dapat mengetahui asal usul, kapan dan dalam keadaan bagaimana ayat diturunkan. Artinya, mempelajari Al-Quran ayat per ayat, surat per surat secara berurut layaknya mempelajari kitab biasa, secara otodidak pula, adalah hal yang benar-benar mustahil.
Riwayat juga menceritakan, betapa kebaikan orang-orang Anshar yang tanpa pamrih tersebut sempat membuat kaum Muhajirin merasa khawatir bahwa kasih sayang Allah swt akan terlimpah hanya kepada kaum Anshar.
Diriwayatkan dari Anas radiallahu`anhu, ia berkata:
“Kaum Muhajirin datang kepada Nabi saw  seraya berkata: “Wahai Rasulullah!, kami belum pernah menemui suatu kaum yang memberikan harta mereka dalam jumlah yang banyak dan berbagi rata ketika jumlahnya sedikit. Mereka telah mencukupi keperluan kami dan ikut dalam kesusahan kami, kami khawatir hanya mereka saja yang mendapatkan seluruh pahala“. Rasulullah saw bersabda:“Kalian juga mendapatkan bagian pahala, selagi kalian ber- terima kasih dengan kebajikan mereka dan mendoa`kan mereka”. (HR. Ahmad).
Disamping itu ada lagi golongan lain, yaitu golongan Ash-Shuffa (Penghuni Shuffa). Mereka adalah orang-orang Muhajirin yang benar-benar tidak mampu. Mereka adalah golongan fakir-miskin yang membutuhkan bantuan. Untuk itu keperluan mereka ini diambilkan dari harta kaum Muslimin yang mampu, baik dari kaum Muhajirin maupun Anshor. Rasulullah menempatkan mereka di selasar masjid yaitu shuffa (bahagian mesjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Bagi yang pernah mengunjungi Masjid Nabawi, tempat tersebut kini berada di samping Raudhah, di bagian yang sangat indah, dimana rak-rak buku tinggi berlapis kuning keemasan menghiasi dinding-dindingnya.
Namun anehnya, kebaikan dan kekhususan ikatan persaudaraan muslim di awal keislaman yang terjalin antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar ini  harus menanggung pelecehan dan penghinaan. Ironisnya lagi, ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya Muslim.
Menjadi catatan penting, tidak semua penduduk Madinah ketika itu, mempunyai kebaikan seperti kaum Anshor. Madinah sejak sebelum hijrahnya kaum Muslimin telah dipenuhi orang-orang Yahudi yang dikenal kaya raya. Tak heran bila pembesar-pembesar kota tersebut, meski telah memeluk Islam, tetap berhubugan baik dengan orang-orang Yahudi, meski mereka ini jelas–jelas sangat memusuhi ajaran Islam. Salah satunya yang paling mencolok adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh Munafikun Madinah yang dikenal sangat memusuhi Islam. Saking dekatnya hubungan dengan orang-orang Yahudi, ia sering mencemooh ayat-ayat yang turun kepada Rasulullah saw.
“Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar”.(QS.Al-Baqarah(2):101).
Orang-orang munafik tersebut selain mencela dan mempermainkan ayat-ayat-Nya juga suka mencemooh apapun yang dilakukan kaum Muslimin. Untuk itu Allah swt menurunkan sejumlah ayat diantaranya adalah ayat 74 hingga 87 surat At-Taubah. Dan puncaknya, ketika akhirnya turun perintah perang, dengan berbagai alasan mereka menolak perintah tersebut.
Dan apabila diturunkan sesuatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): “Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya”, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: “Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk“.”.(QS.Al-Baqarah(2):86).
Bahkan Abdullah bin Ubay melindungi orang-orang Yahudi yang jelas-jelas memusuhi kaum Muslimin dan menjadi duri yang sangat berbahaya bagi perkembangan Islam di Madinah. Tidak cukup itu. Aisyah ra, istri tercinta Rasulullahpun tak luput dari fitnah yang dimotori  olehnya. Namun Allah swt sendiri yang kemudian membela beliau, yaitu dengan turunnya ayat 11 hingga 20 surat An-Nuur yang menerangkan bahwa umirul mukminin yang dikenal banyak meriwayatkan hadits, dimana ayat-ayat suci sering turun di kamar beliau, adalah tidak bersalah. Dalam kesempatan itu, Allah swt bahkan membuka kedok tokoh Munafikun tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”.(QS.An-Nur(24):11).
Anehnya, perbuatan terkutuk tersebut tidak menjadikan orang-orang Munafik menjadi kapok. Malah dengan  wafatnya Rasulullah saw 14 abad silam, fitnah tersebut makin menjadi-jadi, hingga detik ini. Ini adalah fitnah terbesar dalam sejarah Islam. Bagaimana mungkin para sahabat seperti Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra dan Ustman bin Affan ra yang selama hidup Rasulullah telah terbukti begitu setia membela Rasulullah dan ajaran Islam dapat tiba-tiba murtad begitu Rasulullah wafat? Atas alasan apa?? Padahal Allah swt sendiri telah menjamin ampunan dan surga bagi mereka  …
“ Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah ( Muhajirin), dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan ( Anshar, kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia”.( QS. Al-Anfaal(8) :74).
Wallahuálam bish shawwab.