Jumat, 30 Maret 2012

Melafadzkan Niat?


Melafadzkan Niat?


 Umumnya masyarakat kita masih memiliki pemahaman yang tidak tepat mengenai BERNIAT dalam setiap ibadah dalam syariat Islam ini. 

Selalu saja setiap akan melaksanakan sholat membaca niatnya dengan bacaan-bacaan khusus yang tidak pernah ditemukan lafaz-lafaz tersebut dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Fenomena ini mungkin karena kurangnya keinginan untuk mencari Ilmu atau kurangnya pemahaman bahwa dalam agama ini sebelum beramal atau beribadah haruslah dilandasi Ilmu yang shohih terlebih dahulu, 

karena itu mari kita simak fatwa berikut ini.

Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahulloh menasehati bahwa: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apapun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan: “Usholli lillahi sholata kadza mustaqbilal qiblati arba’a roka’aat imaaman aw ma’muuman.” (Aku tunaikan untuk Allah shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum.
Demikian pula ucapan “adaa’an” atau “qodho’an” ataupun “fardhal waqti”.Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam baik dengan sanad yang shahih, dha’if, musnad (bersambung sanadnya) ataupun mursal (terputus sanadnya). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat. Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari kalangan tabi’in maupun imam yang empat yang menganggap baik hal ini.
Hanya saja sebagian muta`akhirin (orang-orang sekarang) keliru dalam memahami ucapan Imam Syafi’i – semoga Alloh merahmatinya – tentang shalat. Beliau mengatakan: “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan dzikir.” Mereka menyangka bahwa dzikir yang dimaksud adalah ucapan niat seorang yang shalot. Padahal yang dimaksudkan Imam Syafi’i – semoga Alloh merahmatinya – dengan dzikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram.
Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menyukai perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu sholat pun, begitu pula oleh para khalifah beliau dan para sahabat yang lain. Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan ketundukan dan penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari pembawa syari’at shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Sumber Rujukan: Zaadul Ma’ad: 1/201).