Senin, 19 Maret 2012

Shalahuddin Mengembalikan Wilayahnya ke Pangkuan Khilafah

Kekuasaan  Bani  Fathimiyyah  memang  telah tercatat dalam sejarah tetapi kekuasaan itu tidak pernah diakui oleh kaum Muslim, khususnya para ulama ahli sejarah, seperti as-Suyuthi,  sebagai  negara  yang  sah.  Selain karena akidah reinkarnasi danmanunggaling gusti  ing kawuloyang sesat, juga kejahatannya di masa lalu. Mereka, misalnya, tercatat pernah membantu kaum Salibis untuk menguasai Yerusalem pada tahun 1099 M. Bukan hanya itu, mereka juga pernah mencuri Hajar Aswad dari Ka'bah al-Musyarrafah.

Setelah  Shalahuddin  berkuasa  dan  melakukan pembersihan paham ini dari negara, yang diikuti oleh rakyatnya, di depan mata masih ada agenda besar yang menanti Shalahuddin. Pertama, kenyataan bahwa wilayah Mesir  dan  sekitarnya  telah  terpisah  dari  Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Kedua, bercokolnya kaum Salibis di beberapa  wilayah  kaum  Muslim.  Ketiga,  lemahnya pertahanan negara dalam menghadapi ancaman musuh-musuh dari luar.
Karena itu, pada tahun 1171 M, pemimpin agung, Shalahuddin al-Ayyubi, itu pun melakukan langkah besar. Ia  mengintegrasikan  wilayah  yang  berada  di  bawah kekuasaannya yaitu Mesir dan sekitarnya dengan Khilafah Abbasiyah yang ketika itu masih berpusat di Baghdad. Langkah  ini  terjadi  setelah  ia  memberikan  baiatnya kepada  Khalifah  Abbasiyah,  al-Mustadhi  Bi  Amrillah, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sayyidina al-Hasan  kepada  Muawiyah,  pada  'Am  al-Jama'ah  (tahun rekonsiliasi).  Setelah  peristiwa  itu,  maka  secara  resmi seluruh  wilayah  yang  berada  di  bawah  kekuasaan Shalahuddin, yang semula terpisah dari induknya telah kembali menyatu kembali dalam satu naungan Negara Khilafah.
Setelah  peristiwa  itu,  Shalahuddin  melanjutkan agenda  berikutnya  yaitu  membangun  benteng pertahanan  Mesir  untuk  melindungi  wilayah  ini  dari serangan  musuh.  Peristiwa  ini  dilakukan  Shalahuddin pada  tahun  1177  M  atau  tepatnya  6  tahun  setelah diintegrasikannya Mesir dan sekitarnya dengan Khilafah Abbasiyah. Ini bukan agendanya yang terakhir, karena setelah  peristiwa  ini,  atas  restu  Khalifah,  ia  kemudian menyusun kekuatan untuk melakukan perang besar guna mengusir kaum Salibis dari Yerusalem dan Suriah serta mengembalikan wilayah tersebut ke pangkuan Islam.
Tepat, pada Jumat, 4 Rabiul Akhir 583 H/1187 M, atau sepuluh tahun kemudian, ketika semua pertahanan dan persiapan yang dibutuhkan telah siap, maka Shalahuddin mengumumkan  perang  besar  melawan  mereka,  yang dikenal  dengan  Perang  Hittin.  Shalahuddin  sengaja memilih memulai peperangan pada hari Jumat karena mengharap  berkah  dari  doa  kaum  Muslim  yang melaksanakan shalat Jumat, serta memanfaatkan khutbah Jumat  sebagai  momentum  untuk  menggelorakan semangat mereka.
Allah  pun  memberi  kemenangan  agung  dalam peperangan tersebut. Penulis kitab, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah menyatakan, ini merupakan kemenangan agung yang disaksikan oleh para ulama, pasukan perang dan ahli zuhud. Suara pun bergemuruh membelah langit, dipenuhi dengan doa, tahlil dan takbir. Pada hari Jumat, al-Quds di Yerusalem dibersihkan, salib-salib  yang  digantungkan  di  atas  kubah  Shakhra' disingkirkan; salibnya waktu itu berukuran raksasa. Itulah momentum  di  mana  Allah  memberikan  kemenangan kepada Islam melalui tangan Shalahuddin.